spot_img
Saturday, July 27, 2024
spot_img

Kampanye Digital Ethics

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dalam pesta demokrasi, masa kampanye memang menjadi momen yang sangat penting. Melalui kampanye itulah para peserta pemilu dapat membangun citra positif (personal branding) dan hubungan yang lebih dekat dengan konstituennya.  Dari kesan baik yang sudah diciptakan saat kampanye, tentu harapannya dapat memperoleh dukungan dan kepercayaan dari masyarakat.

          Untuk tujuan tersebut, para kontestan pemilu melakukan kampanye konvensional, yaitu melalui televisi, koran, spanduk, baliho dan mengadakan pertemuan publik. Tidak hanya itu, di era yang serba digital, kampanye dilakukan dengan menggunakan fasilitas teknologi informasi atau yang sering disebut kampanye digital.

- Advertisement -

          Kampanye digital pada dasarnya bertujuan sama, yaitu menjaga reputasi yang baik serta menyampaikan informasi kepada publik. Pada praktiknya kita dapat jumpai, pesan-pesan dan gambar-gambar yang dikirim melalui chat whatsapp. Belum lagi tentang informasi yang disebar melalui media sosial lain. Seperti Instagram, Facebook, Tiktok, Twitter, Telegram, Youtube dan lain-lain.

          Strategi kampanye melalui media sosial ini dapat dibilang efektif, karena jangkauan informasi yang luas dengan biaya yang lebih murah. Media sosial juga menjadi sarana yang krusial, mengingat di era yang serba digital ini masyarakat sudah banyak mengakses informasi melalui media digital. Hal ini dapat kita lihat pada data pengguna media sosial di Indonesia yang terbilang sangat tinggi.    

          Datareportal.com (2023) menyebutkan jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 167.0 juta orang pada Januari 2023 setara 60.4 persen dari 276.4 juta masyarakat di negara Indonesia.        Persentase pengguna aktif WhatsApp mencapai 92.1 persen, Instagram 86.5 persen dari populasi pengguna internet 212.9 juta orang. Facebook peringkat ketiga 83.8 persen, TikTok 3 peringkat keempat 70.8 persen, dan Telegram peringkat kelima 64.3 persen.

          Jika memperhatikan data-data itu, tentu saja penggunaan media sosial untuk berkampanye sangat dapat diukur. Apalagi, pada platform tertentu, disediakan analisis jangkauan viewers, yang diidentifikasi berdasarkan wilayah dan usia. Melalui media sosial ini, tentu target dan sasaran kampanye dapat dipetakan.

          Pertimbangan lainnya, saat ini sebagian masyarakat tidak dapat mengakses stasiun televisi, sehingga informasi terkait pemilu diakses melalui media sosial. Khusus untuk pemilih pemula (pelajar), saat ini justru lebih banyak memperoleh informasi politik dan pemilu melalui media sosial.

Digital Ethics

          Segala macam informasi yang disebar melalui media sosial kadang tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat. Semua informasi dianggap benar meski tanpa dasar yang jelas. Ini adalah salah satu kelemahan informasi berbasis media sosial. Dengan menyimak informasi setiap hari, sangat mungkin dapat memunculkan stigma positif atau bahkan negatif terhadap tokoh-tokoh yang sedang disorot di media sosial.

          Dengan kata lain, media sosial dapat menggiring opini publik tentang kebaikan dan keburukan kontestan tertentu. Hal ini disebabkan oleh konten yang diunggah belum dapat disaring dengan baik oleh masyarakat. Atau bisa saja, masyarakat menyaring dengan doktrin yang belum sepenuhnya benar.

          Berbicara tentang unggahan informasi, gambar, video dalam media sosial tentang tokoh politik, tentu tidak semuanya berasal dari sumber yang benar. Sangat dimungkinkan, bahwa berita atau informasi yang diunggah adalah hoaks atau berita bohong. Belum lagi adanya tulisan atau pesan yang bernada keras, sarkas dan mendeskreditkan kelompok tertentu. Ujung-ujungnya sangat sulit untuk membedakan mana berita benar dan mana berita bohong.

          Indonesia adalah sebuah bangsa yang berbudaya dan mengedepankan keberadaban. Para pendahulu bangsa telah mewariskan filosofi keberadaban yang masih relevan untuk diterapkan hingga saat ini. Nilai-nilai etika, kesopanan, saling menghargai, toleransi yang ditanamkan sejak dulu, semestinya tidak hanya berlaku di dunia nyata, tapi juga di dunia maya.

          Jika saat ini masih dijumpai konten-konten media sosial yang mulai menjauh dari nilai-nilai etika, maka sudah saatnya budaya bermedia digital menjadi edukasi yang penting. Siberkreasi & Delloite (2020) merumuskan bahwa etika digital (digital ethics) merupakan kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari.

          Artinya bahwa individu yang membuat konten di media sosial, perlu memperhatikan sikap, perilaku, bahasa kalimat yang baik untuk kebaikan bersama. Siapapun yang memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi, berekspresi, menyampaikan informasi, mempersuasi tetap harus dalam koridor etika kesopanan dan saling menghargai menurut norma yang berlaku.

          Sah-sah saja apabila media sosial menampilkan konten yang meninggikan dan memuji setinggi langit terhadap kontestan idolanya, namun tanpa perlu dinodai dengan merendahkan atau merugikan kontentan yang lain. Jika masing-masing pihak yang berkepentingan dalam kontestasi pemilu, mengedepankan budaya etis bermedia digital, maka dinamika dan harmonisasi demokrasi akan berjalan dengan aman, nyaman dan berdampak baik.

          Masyarakat tingkat bawah, yang ‘tidak menahu apa-apa’ dapat memperoleh informasi dan edukasi yang benar serta menjaga kerukunan antar sesama. Minimal mereka dapat mendukung yang sesuai hati nurani dengan menilai kelebihan dan kebaikan masing-masing kontestan.(*)

- Advertisement - Pengumuman
- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img