spot_img
Friday, May 3, 2024
spot_img

Sutari, Nelayan Pengelola Konservasi Penyu

Pernah Dimusuhi, Kini Warga Jadi Relawan

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Bekerja sebagai nelayan tapi punya idealisme. Itu dibuktikan dalam aksi nyata. Begitulah Sutari, nelayan yang juga terpanggil sebagai pelestari penyu.

Jari tangan Sutari menyentuh lembut telur-telur penyu. Merawat hingga melepas liarkan bayi-bayi amfibi itu ke lautan lepas di Pantai Bajulmati Gedangan Kabupaten Malang. Kegiatan konservasi penyu yang ia gagas sejak dulu baru saja longgar karena musim penyu bertelur telah lewat. Belum lama ini, masih di Bulan Agustus Sutari dan tim melepaskan ratusan ekor penyu kembali ke alam.

Bulan lainnya musim penyu bertelur di pantai ini, yaitu April dan Juli lalu. Dan Desember nanti. Begitulah sosok pria paruh baya di Desa Gajahrejo Kecamatan Gedangan itu begitu memahami sahabat-sahabat kecilnya di pantai.

Sutari merupakan salah seorang yang memantapkan langkahnya  berjuang melawan kerusakan ekosistem. Ia melakukan aksi penyelamatan penyu dan melawan kebiasaan buruk yang dapat merusak alam.

Pria ramah itu masih bisa mengenang apa yang dilakukannya tak langsung diterima.  Ada yang memushui Sutari. Itu karena belum adanya kesadaran konservasi penyu di masyarakat lokal. Saat itu masyarakat masih mengkonsumsi sampai menjual daging dan telur penyu. Padahal  penyu memiliki peran yang signifikan untuk merawat terumbu karang. Mereka kala itu belum banyak yang paham atau mau peduli.

Awal pengabdiannya untuk bumi dimulai belasan tahun lalu. Kerentanan hidup penyu akibat kerusakan alam menjemput hati Sutari untuk melindungi hewan bernama latin Chelonioidea tersebut.

Upaya pelestarian penyu dilakukan sejak tahun 2009 dengan berpindah-pindah titik. Menyusuri pantai mencoba memahami habitat penyu dan menolong yang terancam.

“Waktu itu kita masih berpindah-pindah lokasi. Kami juga pontang-panting, ada yang memusuhi. Jadi, masyarakat yang dulu teman jadi memusuhi,” terang Sutari yang seorang nelayan dan pemilik warung kecil itu.

Mungkin bukan Sutari jika tak rela berjuang untuk memastikan tukik (bayi penyu) menetas, dan mampu berlari ke lautan sampai rela dimusuhi orang lain. Dia akhirnya mendirikan Bajulmati Sea Turtle Conservation (BSTC). Tempatnya itu dijuluki  ibu kota penyu.

Butuh sekitar sembilan tahun agar gerakan Sutari mulai diakui oleh warga sekitarnya. Semua jerih payahnya mulai terbayarkan pada tahun  2018.

“Baru pada tahun 2018 kami mulai memiliki anggota 12 orang dari masyarakat. Dan di tahun ini juga mulai tertata jadwal patrolinya,” cerita pria 48 tahun itu.

BSTC menjadi saksi bagi ribuan telur penyu sebelum menetas menjadi tukik. Untuk selanjutnya dilepas di salah satu pantai Kabupaten Malang yang berbatasan langsung dengan laut selatan itu.

Saat musim penyu bertelur tiba, yakni di rentang bulan Maret hingga Agustus, ia  sudah bersiap di lokasi yang biasanya dijadikan sarang penyu untuk bertelur. Melakukan patroli, menyisir habitat penyu  untuk memastikan penyu-penyu bertelur dengan aman.

Tak sepeserpun ia dapat keuntungan dari konservasi yang dipeloporinya. Ia memiliki jalan mencari nafkah sebagai nelayan dan membuka warung. “Saya begitu mencintai penyu. Rasa kasih sayang yang jadi motivasi saya untuk melestarikan penyu,” ungkap Sutari. “Kami mengabdi ke alam menjaganya, dan alam mencukupi kami,” imbuhnya.

Saat penyu bertelur, pihaknya melaporkan kepada beberapa pihak. Termasuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Telur-telur itu lantas ditetaskan di BSTC. Ada beberapa bak dari beton disiapkan sebagai area penetasan telur penyu. Yang sebisa mungkin kondisi area penetasan dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya saat menetas.

Dipendam dalam tumpukan pasir pantai. Dan juga berusaha menjaga agar suhu bisa stabil selama proses inkubasi hingga telur menetas. Tidak sampai di situ, tugasnya berlanjut mengantarkan tukik yang baru saja menetas kembali ke habitat aslinya.

Dalam sekali bertelur, biasanya hingga ada sebanyak 145 butir telur penyu yang ia selamatkan. Begitu menetas, tukik-tukik itu dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dilepasliarkan. Salah satu upaya memantik kesadaran masyarakat sekitar adalah dengan mengajak berbagai pihak dan komunitas bersama-sama melakukan pelepasan. Belajar dan mengedukasi satu sama lain.

“Alam juga menjadi lestari, terumbu karang terlindungi dan ikan-ikan jadi banyak. Inilah simbiosis dari sebuah konservasi. Tidak terpaku pada materi semata,” paparnya.

Aktivitasnya sebagai pegiat konservasi, terutama menyelamatkan hewan yang termasuk dilindungi tersebut, ternyata juga bukan hal mudah. Sebab dirinya harus berhadapan dengan beberapa pihak yang dinilai kurang bertanggung jawab atas tindakannya terhadap lingkungan.

Tak jarang ada segelintir oknum masyarakat tidak bertanggung jawab yang masih menyalahgunakan penyu untuk kepentingan kantong pribadi. Sehingga tidak jarang ia harus bersinggungan dengan orang-orang di sekitarnya. Sutari dan rekan-rekannya berusaha untuk mengedukasi masyarakat yang ada di pesisir. Terutama anak-anak sebagai generasi penerus. Dari sana, lahirlah apa yang mereka sebut sekolah alam. Wadah sederhana belajar mengenai pelestarian dan pengetahuan tentang penyu.

“Mungkin kalau kita edukasi ke orang dewasa, akan mentah. Makanya kami juga mendirikan sekolah alam ini bagi anak-anak pesisir, agar kelak mereka tahu apa manfaat konservasi,” tuturnya.

Tak berpikir lagi soal materi, baginya memang tidak ada hasil yang didapat dengan upaya konservasinya tersebut. Namun ia berprinsip bahwa setidaknya bisa memberikan kontribusi terhadap alam untuk menjaga kelangsungan habitat dan ekosistem yang ada di dalamnya.

Sejauh pemahamannya sebanyak enam jenis penyu ada dan ditemui di Indonesia. Empat di antaranya ditemukan di pesisir Malang Selatan dan juga pernah ditetaskan di BSTC. Keempat jenis penyu tersebut yakni penyu hijau, penyu belimbing, penyu sisik, penyu abu atau penyu lekang.

“Tetapi penyu belimbing sendiri sudah jarang. Karena sifatnya yang memang cenderung pemalu. Jadi mencari tempat (bertelur) yang benar-benar aman,” jelasnya.

Itu menjadi tantangan tersendiri baginya. Apalagi di kondisi yang sedang terjadi saat ini. Salah satunya berkembangnya wisata  berbasis alam. Termasuk kawasan wisata pantai.

Kondisi tersebut ternyata juga berpengaruh pada tingkat vegetasi di sekitar pesisir yang kian menipis. Berdasarkan pantauannya, dari keseluruhan area vegetasi di pesisir, sekitar 70 persennya rusak. Pengaruhnya karena iklim atau cuaca, kata Sutari, bisa juga karena pengelola wisata yang kurang teredukasi bagaimana konservasi.

Meskipun, ia mengaku tidak masalah dengan masuknya banyak wisatawan di tengah berkembangnya wisata berbasis alam. Malah, dirinya berkeinginan bahwa suatu hari, BSTC dengan kegiatan konservasi penyu bisa turut mendukung berkembangnya wisata tersebut. Misalkan menjadi sarana edukasi di tempat bagi yang ingin melihat penyu bertelur, tentunya dengan berbagai syarat.

Untuk itu, banyak tahapan yang harus dilalui. Salah satunya dengan membentuk kawasan inti dan kawasan penyangga. Tujuannya, untuk mempertegas kawasan yang menjadi area konservasi dan area yang dibuka sebagai kawasan wisata. Tapi tak lupa dengan misi utama, pun sekarang masih ada sekitar 435 butir telur penyu yang masih dalam proses penetasan.

Kendati ia tidak melarang kalau ada orang yang ingin masuk ke ibu kota penyu, tapi harus duduk dulu untuk mendapatkan edukasi. Karena ditakutkan ada orang yang memanjat pagar yang ternyata banyak telur penyu, atau ada tukik tapi dikira bulus atau labi-labi.

Perjuangannya belum berakhir, tantangan untuk pegiat seperti dirinya berdatangan. Belum usai soal penyelamatan dan edukasi, belum lagi dengan masalah hukum. Saat ini, Pria kelahiran 1974 itu sedang berusaha agar lahan yang ia jadikan sebagai tempat untuk konservasi  memiliki legalitas. Untuk itu dalam beberapa kegiatan dirinya turut menghadirkan jajaran vertikal yang berwenang di wilayahnya. Seperti BKSDA dan Perhutani. Sutari menceritakan jika BSTC Malang juga memiliki kepedulian terhadap mangrove seperti pembibitan Pandan Laut yang sering terpotong oleh masyarakat yang kurang bertanggung jawab.

Permasalahan BSTC Malang sendiri sampai sekarang adalah legalitas tanah tempat berdirinya ibu kota penyu di Pantai Bajulmati yang dikelola Perum Perhutani Malang. “Memang dari regulasi dari Perhutani KPH Malang kami sudah mengajukan PKS (Perjanjian Kerja Sama) pada 2018. Tapi perjanjian belum selesai, bapak administratur keburu dipindah. Terus sama bapak administratur yang baru disuruh buat lagi, tapi beliau dipindahkan juga,” keluhnya.

“Akhirnya pada tahun 2021 kami membuat PKS yang langsung didukung bareng-bareng semua stakeholder. Sehingga apapun yang terjadi pasti akan diselesaikan tahun ini,” tambahnya.

Pantai Bajulmati memang sudah menjadi tempat indukan penyu bertelur setiap tahunnya. Sutari percaya dengan menjaga alam maka generasi manusia seterusnya selamat.

Sebaliknya jika merusak, generasi penerus di kemudian hari akan sulit mendapatkan banyak hal yang harusnya disediakan alam. Sumber daya akan tersedia selama keseimbangan terjaga. Dan manusia bisa menuai hasilnya. Sutari berharap semakin banyak orang yang sadar dan turut berkontribusi menjaga alam sekitar. Merawat dan memanfaatkan sewajarnya. “Kita jaga alam, maka alam akan menjaga kita, kita mengabdi kepada alam maka alam akan mencukupi kita,” tukasnya. (m prasetyo lanang/van)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img