spot_img
Friday, May 17, 2024
spot_img

MEMAHAMI POLEMIK ‘MALANG HALAL CITY’

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Beberapa hari yang lalu, Kota Malang masuk trending topik di jagad Twitter Indonesia. Hal ini dipicu oleh pemasangan spanduk berbunyi “Malang Tolerant City, Not Halal City” di Alun-alun bundar Kota Malang. Sontak  postingan tersebut memicu pro kontra di media sosial. Ternyata kemunculan spanduk tersebut adalah respon dari salah satu kelompok masyarakat terhadap pernyataan Wali Kota Malang Sutiaji,  pada saat acara pelantikan dewan KAHMI Kota Malang. Wacana ini menjadi berkembang karena pemilihan diksi Halal City ini memunculkan multitafsir dan lebih jauh lagi karena dikontraskan dengan istilah Tolerant City yang diberikan kesan saling kontradiktif.

Sebenarnya bila ditelusuri lebih jauh, pernyataan walikota Malang tersebut bukannya tanpa dasar. Bila mengacu kepada Master Plan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 yang diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2018, ide walikota Malang tersebut adalah penjabaran dari rencana tersebut dalam konteks Kota Malang. Terlebih rencana tersebut juga sudah dituangkan dalam  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Malang dan disahkan dalam Perda Kota Malang Nomor 1 tahun 2019. Dalam konteks ini, sebenarnya wacana Malang Halal City lebih ditekankan dalam rangka mengantisipasi peluang pasar ekonomi syariah dan pariwisata halal yang saat ini sedang mengalami tren pertumbuhan di seluruh dunia terutama sebelum era pandemi. Terlebih antisipasi terhadap peluang ini juga sudah dituangkan dalam UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pariwisata Halal sebagai bagian dari Ekonomi dan keuangan syariah mengalami perkembangan pesat dalam dua dasawarsa terakhir, baik secara global maupun nasional. The State of the Global Islamic Economy Report 2018/2019 melaporkan besaran pengeluaran makanan dan gaya hidup halal umat Islam di dunia mencapai USD 2.1 triliun pada tahun 2017 dan diperkirakan akan terus tumbuh mencapai USD 3 triliun pada 2023. Faktor utama yang mempengaruhi hal ini adalah peningkatan jumlah penduduk Muslim di dunia yang pada tahun 2017 mencapai 1.84 miliar orang. Jumlah ini akan terus meningkat dan mencapai 27.5 persen dari total populasi dunia pada 2030. Peningkatan populasi ini akan meningkatkan permintaan terhadap produk dan jasa halal secara signifikan.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia belum dapat berperan secara optimal dalam memenuhi permintaan the Globa Islamic Economy Index 2018/2019. Indonesia tercatat berada di posisi ke-10  sebagai produsen produk halal dunia. Meskipun kinerja ekspor Indonesia pada produk fesyen muslim, makanan halal, dan pariwisata halal meningkat namun secara agregat, Indonesia memiliki net impor yang besar untuk produk dan jasa halal. Hal ini mengakibatkan defisit pada transaksi berjalan. Bahkan data dari Kementerian Perdagangan pada tahun 2020 dalam produk makanan halal, Indonesia berada di urutan ke 20. Padahal Brazil, India, dan Thailand berada dalam posisi tiga besar pemasok produk makanan halal dunia.

Secara umum, terdapat beberapa tantangan dalam pengembangan ekonom syariah khususnya industri halal di tanah air, yaitu regulasi terkait industri halal yang belum memadai, literasi dan kesadaran masyarakat akan produk halal yang kurang, juga interlinkage industri halal dan keuangan syariah yang masih rendah. Lainnya adalah peningkatan konsumsi dan kebutuhan produk halal di dalam negeri yang tidak diimbangi dengan jumlah produksinya. Tata kelola dan manajemen risiko sektor halal masih belum memadai. Pemanfaatan teknologi belum optimal pada industri halal. Standar halal Indonesia belum dapat diterima di tingkat global.

Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia  disusun oleh Bapenas untuk menjawab tantangan tersebut. Tentu dengan maksud untuk menjadi referensi mengembangkan ekonomi syariah agar memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan masyarakat. Visi Masterplan tersebut adalah mewujudkan “Indonesia yang mandiri, makmur dan madani dengan menjadi pusat ekonomi syariah terkemuka dunia.” Berdasarkan visi tersebut, empat target capaian utama yang akan dikembangkan, yaitu (1) peningkatan skala usaha ekonomi dan keuangan syariah; (2) peningkatan peringkat Global Islamic Economy Index; (3) peningkatan kemandirian ekonomi, dan (4) peningkatan indeks kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Untuk mencapai visi tersebut, terdapat empat strategi utama yang menjadi acuan para pemangku kepentingan ekonomi syariah. Strategi tersebut adalah: (1) penguatan rantai nilai halal yang terdiri atas industri makanan dan minuman, pariwisata, fesyen muslim, media, rekreasi, industri farmasi dan kosmetika, dan industri energi terbarukan; (2) penguatan keuangan syariah; (3) penguatan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM); dan (4) penguatan ekonomi digital.

Selain itu, ada enam strategi dasar yang menjadi ekosistem pendukung strategi utama di atas, yaitu: (1) penguatan regulasi dan tata kelola, (2) pengembangan kapasitas riset dan pengembangan; (3) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia; dan (4) peningkatan kesadaran dan literasi publik.

Dalam menjawab tantangan pengembangan ekonomi syariah, implementasi strategi di atas dituangkan dalam quick wins yang dibagi menjadi tiga tahapan utama. Pada tahapan pertama, inisiatif diprioritaskan untuk meletakkan landas penguatan aspek hukum dan koordinasi. Selain itu, kampanye nasional hidup halal dibutuhkan untuk meningkatkan literasi dan kesadaran mengonsumsi komoditas yang ramah muslim.

Pada tahapan kedua, beberapa inisiatif harus dilakukan sebagai program utama, antara lain: pembentukan dana halal nasional. Fungsinya untuk memfasilitasi pembiayaan industri halal. Lainnya adalah pendirian badan halal di tingkat regional untuk penguatan industri halal dan aktivasi Islamic Inclusive Financial Services Board (IIFSB). Lembaga ini akan memposisikan Indonesia sebagai referensi internasional dalam pengembangan dan tata kelola dana sosial Islam.

Selanjutnya, dalam tahapan ketiga, harus ada kerja sama dengan luar negeri dalam bentuk pendirian pusat halal internasional. Fungsinya untuk mempercepat investasi luar negeri dalam industri halal dan harmonisasi standar sertifikasi halal Indonesia di luar negeri. Strategi di atas dimaksudkan untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, makmur dan madani dengan menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah terkemuka dunia.

Tantangan perekonomian setelah satu dekade krisis keuangan global semakin kompleks dan beragam. Risiko perdagangan, keuangan, dan geopolitik, menempatkan berbagai negara pada ketidakstabilan dan kerentanan. Dalam merespons berbagai ketidakpastian eksternal, kemampuan menangkap peluang dan bertransformasi merupakan kunci resiliensi perekonomian nasional.

Indonesia merupakan bagian dari masyarakat global. Sebagai anggota G20, Indonesia berkontribusi besar dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) dunia. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia adalah bagian dari komunitas muslim internasional yang ikut menentukan tren ekonomi syariah global.

The State of Global Economic Report 2018/2019 memperkirakan total pengeluaran muslim mencapai USD 2,1 triliun pada tahun 2017 yaitu sekitar 0,27 persen dari total produk bruto dunia. Angka tersebut terutama berasal dari konsumsi makanan halal, diikuti fesyen, media dan rekreasi, travel, serta farmasi dan kosmetik. Potensi tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk muslim dunia.

Dengan populasi muslim terbanyak di dunia, Indonesia menjadi konsumen terbesar produk halal pada pasar internasional. Akan tetapi, sumbangsih kita memproduksi produk halal dunia masih belum optimal. Hal ini tercermin dari ranking Indonesia 2018 sebagai konsumen pertama makanan halal, ketiga fesyen terkini, kelima halal travel-halal media dan rekreasi, serta keenam untuk halal farmasi-kosmetik.

Hal ini sangat disayangkan, mengingat potensi ekonomi syariah Indonesia yang begitu besar. Namun demikian, kondisi itu juga mencerminkan peluang pembangunan ekonomi syariah yang dapat berdampak positif pada neraca perekonomian nasional. Di antaranya, pengembangan produk fesyen muslim mendukung industri tekstil dan pakaian jadi yang merupakan komoditas unggulan  ekspor Indonesia. Sedangkan promosi travel ramah muslim sejalan dengan ekspansi sektor pariwisata yang menjadi penopang neraca perdagangan jasa. Karena itu, ekonomi syariah menjadi keuntungan komparatif perekonomian nasional.

Target capaian ekonomi syariah pada tataran domestik yaitu peningkatan skala usaha, kemandirian, dan kesejahteraan. Sedangkan pada tingkat internasional berupa peningkatan peringkat Global Islamic Economy Indicator (GIEI). Pengembangan ekonomi syariah diharapkan mampu memaksimalkan kearifan lokal dalam menangkap peluang global berupa tren gaya hidup halal yang mengedepankan produk etis ethical products dari barang dan jasa. Pandangan tersebut sesuai dengan cita-cita nasional sebagai negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Oleh karenanya, pemerintah mengajak partisipasi segenap lapisan masyarakat Indonesia dalam pembangunan ekonomi syariah untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, makmur, dan madani dengan menjadi pusat ekonomi syariah terkemuka dunia.

Jika dipahami secara utuh tentang rencana aksi nasional terkait target pengembangan ekonomi syariah di atas, maka sesunguhnya narasi walikota Malang terkait pengembangan ekosistem halal di Kota Malang seungguhnya sangat selaras dengan arah kebijakan nasional. Kalaupun ada sebagian kecil masyarakat Kota Malang yang menyampaikan aspirasi penolakan, boleh jadi sesungguhnya karena literasi halal belum sampai secara utuh kepada mereka. Maka tugas seluruh instansi terkait untuk mengampanyekan program tersebut agar dipahami secara utuh dan tidak sepotong-sepotong yang pada akhirnya justru menimbulkan kontroversi.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img