.
Friday, December 13, 2024

Seni di Gurun, Eksplorasi Instalasi ‘Shadows Travelling on The Sea of The Day’ di Doha, Qatar

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Menikmati sebuah karya instalasi umumnya dilakukan di dalam gedung atau museum. Namun, pengalaman menjadi berbeda ketika melihat karya seni instalasi di tengah gurun dan batuan, seperti karya yang berjudul “Shadows Travelling on The Sea of The Day” di Doha, Qatar.

Terletak di gurun di utara Al Zubarah, instalasi karya seniman Islandia-Denmark, Olafur Eliasson, menggali bagaimana persepsi seseorang terhadap dunia dan bagaimana hal itu memengaruhi hubungannya dengan kenyataan.

Instalasi ini mempersembahkan seni pantulan kaca, dengan puluhan struktur setengah lingkaran besar yang dilengkapi atap kaca. Para pengunjung dapat mengamati lingkaran penuh yang terbentuk saat mereka melihat ke atas atap kaca tersebut.

Terdapat 20 tempat atap kaca melingkar, tiga cincin tunggal dan dua cincin ganda yang membentuk karya seni khusus situs ini sekilas tampak tersebar di lanskap gurun secara acak. Namun, mereka diposisikan menurut sumbu pola simetris lima kali lipat, dengan sepuluh tempat berlindung di tengahnya membentuk pentagram.

Instalasi karya seni Olafur Elisson “Shadows Travelling on the sea of the day” di gurun Al Zubarah, Doha, Qatar, Selasa (28/11/2023) (ANTARA/Fitra Ashari)

Prinsip-prinsip di balik pola-pola tersebut baru-baru ini ditemukan oleh para ahli matematika di Barat meskipun mereka mungkin telah menginformasikan beberapa desain canggih yang ditemukan dalam budaya Islam sejak abad pertengahan.

Bagian bawah atap melingkar ditutupi dengan panel cermin, mencerminkan segmen pipa melengkung yang menopang atap. Hal ini menciptakan ilusi visual pipa-pipa yang berlipat ganda menjadi cincin penuh, menghubungkan lanskap nyata dengan ruang yang dipantulkan.

Pengunjung yang berdiri di bawah naungan atap mungkin mengalami momen disorientasi, melihat sekilas diri mereka sendiri dan lingkungan sekitar yang terpantul terbalik di atap di atasnya.

Di sini pengunjung bisa masuk secara gratis dan tempat ini terbuka selama 24 jam. Pihak Museum Qatar menyebut, pengunjung biasanya datang melihat instalasi ini pada pagi hari dan sore hari sambil menikmati matahari terbenam.

Namun saat berkunjung pada malam hari Anda harus lebih berhati-hati karena banyak bebatuan dan tidak ada pencahayaan di sekitar area instalasi, dan masih ada hewan liar yang berkeliaran di sekitar gurun tersebut.

Perhatikan juga untuk memakai baju yang nyaman serta topi atau payung untuk melindungi diri dari teriknya matahari jika berkunjung di siang hari.

Karya seni ini merupakan bagian dari koleksi Qatar National Museum. Di studionya di Berlin, Eliasson kerap bekerja sama dengan tim beragam yang terdiri dari pengrajin khusus, arsitek, peneliti, dan sejarawan seni untuk menciptakan praktik artistiknya yang luas.

Instalasi, pahatan, lukisan, dan fotonya sering kali diambil dari bahan-bahan yang bersifat sementara seperti air, kabut, dan cahaya, untuk mengajak pemirsa agar secara aktif membentuk pengalaman tersebut.

Benteng Al Zubarah

Tidak jauh dari instalasi “Shadows Travelling of the Sea of the Day”, sekitar lima kilometer dari sana anda juga bisa mengunjungi situs arkeologi dan benteng Al Zubarah.

Benteng Al Zubarah di gurun Al Zubarah, Doha, Qatar, Selasa (28/11/2023) (ANTARA/Fitra Ashari)

Al Zubarah Fort atau benteng Al Zubarah dibangun pada masa pemerintahan Syekh Abdullah Bin Jassim Al Thani. Benteng ini menghadap ke reruntuhan pemukiman Al Zubarah yang dulunya penting.

Sekitar 200 tahun yang lalu Al Zubarah merupakan kota perdagangan dan perikanan mutiara yang ramai, namun kini kota tersebut tinggal reruntuhan, sebuah bukti masa penuh gejolak yang menyaksikan terbentuknya Teluk modern.

Saat anda memasuki pintu utama benteng, anda akan melihat pijakan lantai benteng yang dipenuhi kerang-kerang kecil, yang berfungsi sebagai penghantar dingin di tengah cuaca Qatar yang panas. Selain itu, seluruh dinding dari Al Zubarah Fort juga di desain menggunakan campuran tanah liat, batu dan kerang sehingga tembok terasa dingin saat dipegang dan bisa menciptakan udara yang dingin di sekitar benteng.

Selain itu, pijakan dari kerang tersebut juga dijadikan sebagai pertanda ada seseorang yang masuk sehingga bisa terdengar oleh para tentara dari dalam benteng karena suaranya cukup berisik.

Pemandangan dari atas benteng Al Zubarah di gurun Al Zubarah, Doha, Qatar, Selasa (28/11/2023) (ANTARA/Fitra Ashari)

Di sekeliling tembok benteng Al Zubarah juga memiliki lubang-lubang kecil yang memiliki arah pandang yang berbeda-beda, sehingga para tentara pada waktu itu bisa mengintai musuh dari segala penjuru.

Juga terdapat saluran pipa air hujan yang mengarah ke dalam benteng, sehingga air tersebut dapat tersaring melalui batu-batu dan dapat diminum, mengingat air sekitar benteng tersebut lebih asin karena dekat dengan laut.

Air yang ditampung juga akan terkumpul di sumur yang ada di dalam benteng, untuk dipakai para tentara hidup sehari-hari.

Selain mengunjungi Al Zubarah Fort, pengunjung juga dapat akses bus gratis yang bisa mengantarkan ke situs arkeologi yang cukup dekat dari lokasi benteng. Situs ini memiliki jam operasional Sabtu-Kamis jam 09:00-17:00 dan Jumat jam 12:30-17:00 waktu setempat.

Al Zubarah adalah situs warisan arkeologi terbesar di Qatar. Kota ini dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2013 dan merupakan contoh kota perdagangan dan perikanan mutiara abad ke18 sampai ke19 yang paling terpelihara di kawasan Teluk.

Situs arkeologi di Al Zubarah, Doha, Qatar, Selasa (28/11/2023) (ANTARA/qm.org.qa/Qatar Museum)

Berbeda dengan kota-kota sezamannya, kota ini sebagian besar masih utuh dan belum hilang ditelan kota-kota modern yang luas di kawasan ini.

Situs yang terletak sekitar 100 km barat laut Doha ini membentang 2,5 km dari Benteng Al Zubarah hingga pesisir pantai. Didirikan pada pertengahan abad kedelapan belas, kota ini berkembang menjadi pemukiman terbesar dan terpenting di negara tersebut.

Keberhasilannya menarik perhatian negara-negara Teluk lainnya, dan setelah beberapa serangan, kota ini dibakar habis pada tahun 1811. Pada dekade pertama abad ke-20, kota ini ditinggalkan. Saat ini, situs tersebut mencakup area seluas 60 hektar dengan sisa-sisa rumah, masajid (masjid), madabis (pencetak kurma), bangunan berbenteng besar, dan pasar. (ntr/mpm)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img