spot_img
Friday, May 17, 2024
spot_img

Menyoroti Kembali Fenomena Kekerasan di Pesantren

Berita Lainnya

Berita Terbaru

KASUS kekerasan di pesantren kembali menjadi sorotan publik. Seorang santri bernama Bintang Balqis Maulana diduga dianiaya sampai meninggal dunia di sebuah pesantren di Kediri, Jawa Timur. Bintang diduga tewas akibat penganiayaan yang dilakukan para seniornya di PPTQ Al Hanifiyyah. Pada Sabtu, 24 Februari 2024, jenazah Bintang yang diantar oleh pihak pesantren dan dikembalikan ke rumah keluarganya di Banyuwangi

Pihak pesantren semula mengatakan bahwa Bintang terjatuh di kamar mandi. Namun, saat jenazah diangkat terdapat ceceran darah keluar dari keranda korban. Luka lebam di sekujur tubuh korban menunjukkan bukti adanya kekerasan. Ramai diperbincangkan ternyata pesantren di daerah Kediri itu belum mengantongi izin. 

Menanggapi hal tersebut, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Kementerian Agama, Waryono menegaskan pihaknya telah merumuskan sejumlah langkah dalam Rapat Koordinasi agar kasus serupa tidak terjadi lagi. Perumusan langkah kuratif dan preventif ini diikuti juga perwakilan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Terlepas dari fungsi pesantren sebagai tempat untuk menimba ilmu, terkadang di “penjara suci” ini tidak steril dari tindak kekerasan. Dampak perilaku kekerasan sungguh sangat merugikan, terutama bagi korban. Kekerasan dalam bentuk apa pun juga tidak memberi keuntungan bagi yang melakukan. Setidaknya, perilaku kekerasan dapat memunculkan rasa depresi, stress, cemas, takut, dan berbagai perasaan negatif dalam diri si korban. Berapa banyak santri yang tidak betah tinggal di pesantren atau minta berhenti menuntut ilmu dari pesantren yang seakan ‘membiarkan’ fenomena kekerasan di dalamnya.

Bentuk Kekerasan di Pesantren

Selain tragedi yang menghilangkan nyawa sebagaimana dialami Bintang, banyak pula bentuk kekerasan di pesantren berupa perundungan dikarenakan faktor fisik. Ambil contoh, ada anak santri yang memiliki tubuh yang gemuk, berambut keriting, atau berkulit gelap. Melihat fisik seperti itu, santri-santri lainnya terpancing untuk membully santri tersebut.

Penyebab lain kasus santri membully temannya karena jauh dari orang tua. Selama ini tanggungjawab orangtua adalah mengawasi perilaku anak-anaknya. Sementara, motivasi orangtua memondokkan anak memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada keinginan orang tua memondokkan anaknya karena si anak memiliki karakter yang dulunya nakal. Berhubung sulit diatur, lantas anaknya dititipkan ke pesantren agar mengerti ilmu agama dan berakhlak yang baik.

Memang tugas utama ustadz atau ustadzah di pesantren adalah mendidik dan mengawasi para santri. Tetapi tugas mereka terkadang tidak maksimal mengawasi seluruh santri sebab yang ditangani bukan hanya satu dua santri, melainkan banyak santri. Tentu pengawasan mereka menjadi tidak optimal seperti orangtua santri di rumah. Itu sebabnya, peluang pembullyian antara santri cukup besar.

Dalam sorotan penulis, setiap pesantren telah membuat peraturan agar antar santri tidak melakukan tindakan bullying dan aneka bentuk kekerasan lainnya. Setiap pesantren tinggal memastikan bagaimana peraturan tersebut bisa dipatuhi oleh seluruh santri. Namun demikian, itu semua tergantung santri sendiri. Kenyataannya, ada santri yang mematuhi dan ada pula santri yang tidak taat aturan. Setiap santri yang melanggar peraturan sudah seharusnya diberi sanksi. Dan sanksi terberat yaitu dikeluarkan dari pesantren. 

Pencegahan Kekerasan di Pesantren

Pesantren telah melakukan apapun demi meningkatkan upaya untuk menciptakan iklim kepesantrenan yang kondusif. Jika iklim pesantren positif maka semakin rendah potensi kekerasan akan terjadi, namun jika iklimnya negatif maka semakin tinggi pula potensi perilaku kekerasan terjadi. Suatu keniscayaan bagi ustadz dan ustadzah atau musyrif dan musyrifah agar mengawasi perilaku santri secara menyeluruh saat jam kosong atau istirahat. Pimpinan pesantren dalam berbagai kesempatan tentu telah menanamkan nilai-nilai persaudaraan antar sesama santri.

Andai pihak pesantren mengabaikan perilaku santri, niscaya membuka peluang bagi para santri untuk berlaku keras antar mereka. Terlebih hal ini kemudian ditambah dengan rendahnya pengawasan dari pihak musyrif atau musyrifah mengenai perilaku santri di asrama. Pihak pesantren akhirnya sulit untuk melakukan tindakan pencegahan maupun hukuman kepada pelaku kekerasan. 

Faktor lingkungan pembelajaran di pesantren yang menyenangkan juga menjadi dambaan setiap santri. Lingkungan pembelajaran di mana ustadz atau ustadzah ketika berbuat kasar dalam pemberian sanksi kepada santri, menyebabkan kegiatan belajar menjadi tidak menggembirakan. Kebijakan pesantren yang tidak konsisten atau peraturan yang terlalu ketat justru mendorong santri ingin melanggar peraturan.

Tak pelak, pihak pesantren memiliki peran penting dalam mencegah adanya tindak kekerasan, selain peran orang tua dan keluarga. Jika pihak pesantren saja lemah dan terkesan tidak peduli serta menunda-nunda dalam menangani permasalahan ini, maka tidak menutup kemungkinan kekerasan akan menjadi fenomena biasa dan tradisi dari tahun ke tahun di lingkungan pesantren.

Salah satu cara mengurangi tingkat kekerasan di pesantren kiranya perlu dilakukan sosialisasi terhadap santri tentang apa saja bahaya kekerasan terhadap dampak psikologis. Tujuan sosialiasi diadakan supaya santri mempelajari dan mengetahui bahwa kekerasan itu merugikan baik bagi korban maupun pelaku. Selain itu, setiap asrama di pesantren ada musyrif atau musyirifah yang pintar mengatasi gejala-gejala kekerasan. 

Pihak pesantren juga perlu merekrut ustadz atau ustadzah yang lulusan psikologi atau bimbingan konseling. Fungsinya yaitu meningkatkan pengawasan terhdaap perilaku santri. Kepada mereka, santri bisa menceritakan segala masalah yang dialami olehnya agar kalau punya masalah tidak dipendam sendirian. Apapun solusinya bisa bekerjasama dengan musyrif atau musyrifah yang mendampingi santri di asrama.

Peran orang tua dalam kasus kekerasan di pesantren tentu saja sangat besar sebagai pihak yang melindungi anak sehingga anak tidak terpuruk dengan peristiwa buruk yang dialaminya. Melindungi anak yang menjadi korban kekerasan bisa dilakukan dengan menasihati anak yang menjadi pelaku kekersan, menemui orang tuanya, membesarkan hati anak, dan lain sebagainya.

Orangtua juga ikut andil dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan di pesantren. Orangtua hendaknya secara aktif menunjukkan kepada setiap anak yang nyantri untuk dapat mengerti permasalahan dari sudut pandang orang lain. Saat menjenguk sang anak di pesantren, orangtua perlu menyadarkan dan mengajarinya bahwa tindak kekerasan dalam bentuk apapun adalah suatu perbuatan nista yang tidak pantas dan dapat membahayakan masa depan santri lain.

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img