Ramadan tahun ini bertepatan dengan penyelenggaraan pesta demokrasi pemilihan umum (pemilu). Ramadan adalah bulan suci, bulan menahan diri dan mengekang hasrat. Sementara kontestasi politik dalam pemilu adalah ruang menyalurkan hasrat dan memperebutkan kekuasaan. Spirit Ramadan dan hasrat politik tak jarang berseberangan. Untuk itu, puasa politik menjadi jalan tengah menggapai kemuliaan Ramadan.
Dalam definisinya yang paling umum, politik banyak diartikan sebagai segala cara yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Melalui segala cara, termasuk di dalamnya adalah cara-cara curang yang menihilkan etika. Tak jarang politik dijalankan dengan permainan kotor demi meraih kekuasaan. Cara berpolitik kotor seakan menjadi hal yang lumrah dilakukan sejumlah politisi.
Beragam cara kotor, licik, dan manipulatif bisa merusak citra tentang politik. Tak sedikit orang berpandangan bahwa politik itu buruk, jahat, dan kejam. Perilaku politik yang tak menjunjung etika dan keadaban sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Beragam praktik kotor politik itu mestinya segera disudahi terutama di bulan suci Ramadan saat ini.
Puasa Politik
Tak bisa dimungkiri dalam pesta demokrasi pemilu 2024 ini perang narasi antar pasangan pendukung capres-cawapres, calon legislatif, dan partai politik berlangsung sengit. Di dunia maya dan media sosial orang saling serang, hujat, fitnah, dan adu domba. Aneka narasi kampanye hitam dilancarkan sejumlah kelompok. Politik menjadi sangat gaduh dan tak menyejukkan.
Situasi politik seperti itu perlu segera diakhiri. Bulan suci Ramadan adalah ajang meredam segala hasrat berlebihan di dalam diri. Hasrat berkuasa sang politisi yang terus mendemonstrasikan kekuasaannya sejatinya bertolakbelakang dengan spirit Ramadan. Jalan mulia lewat jalur politik bisa ternoda gara-gara cara mencapai kekuasaan yang menghalalkan segara cara.
Puasa politik bisa dilakukan dengan cara mengerem perilaku politik yang tak sejalan dengan nilai-nilai Ramadan. Terus memproduksi aneka narasi politik yang tak menyejukkan hanya akan menodai bulan suci ini. Terus melegalkan cara-cara curang demi kekuasaan harus dihentikan. Jangan lantas karena bulan Ramadan, segala noda kecurangan politik itu diputihkan dan dianggap seakan tak pernah terjadi kecurangan.
Puasa politik sejatinya adalah jalan damai agar dalam politik semua bisa legawa menerima hasil pemilu. Dalam setiap kontestasi tentu wajar bila ada yang menang dan ada pihak yang kalah. Bila proses politik berjalan fairplay, tentu yang kalah akan bisa legawa dan yang menang diharapkan tidak jumawa. Failplay dalam pemilu adalah yang menjunjung prinsip jujur dan adil serta menghindari berbagai cara curang.
Puasa politik bisa jadi ajang introspeksi diri bagi para politisi. Sesungguhnya tujuan mulia terjun di jalur politik memang perlu niat suci demi kemaslahatan umat dan merasakan penderitaan rakyat, bukan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Seperti halnya nilai puasa Ramadan yang mengajarkan bagaimana kita berempati pada penderitaan kaum miskin yang kelaparan.
Jalan Mulia Politik
Politik sejatinya adalah ajang membangun kemaslahatan masyarakat lewat jalur kekuasaan. Berjuang membela kepentingan rakyat melalui beragam kebijakan politik yang dihasilkan oleh para politisi terpilih. Politik adalah jalan mulia dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Amanah yang dititipkan rakyat pada para politisi terpilih sungguh mengandung tanggungjawab yang tak ringan.
Luaran dari politik adalah melahirkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Aristoteles, sejatinya politik itu bertujuan untuk kebaikan hidup manusia (politic is a good life). Maka, antara puasa Ramadan dan politik adalah jalan menuju kedamaian dan kebaikan hidup manusia.
Puasa Ramadan bisa jadi pintu mensucikan kembali makna politik sebagai alat mencapai kebaikan hidup bersama seluruh rakyat. Untuk itu penting merajut kembali jalinan pertemanan yang putus karena tak sehaluan dukungan politik saat pemilu.
Jalan mulia politik itu sebenarnya juga soal pembagian kekuasaan dan kesempatan yang adil bagi semua orang. Politik idealnya tak seperti yang pernah dikemukakan oleh Thomas Hobbes bahwa politik hanya memberi ruang bagi mereka yang kuat dan berkuasa. Menurut Kuntowijoyo, politik adalah usaha bersama untuk membagi tanggung jawab dan bukan membagi kekuasaan. Monopoli kekuasaan di tangan suatu kelompok menyebabkan bermacam bentuk penyelewengan.
Bagi siapapun yang terjun dalam dunia politik perlu sadar bahwa saat menjadi pemimpin hal utama yang harus didahulukan adalah mengutamakan kepentingan rakyat. Karena sejatinya seorang pemimpin adalah pelayan rakyat. Seperti ungkapan dalam pepatah Belanda bahwa memimpin adalah menderita (leiden is lidjen). Jadi, jalan politik itu sebenarnya bukanlah jalan senang-senang demi kepentingan pribadi dan partai politiknya semata.
Bulan Ramadan adalah bulan perenungan, sementara dalam politik itu penuh dengan pertarungan. Puasa politik perlu dilakukan guna menjauhkan diri dari segala ekses politik seperti caci maki, fitnah, adu domba, dan aneka kecurangan politik.
Puasa politik diharapkan bisa jadi ajang menemukan esensi sejati dari perjuangan melalui jalur politik. Bulan Ramadan adalah bulan mulia. Berpolitik yang baik dan benar demi meraih kekuasaan untuk kemaslahatan seluruh rakyat juga tujuan mulia. (*)