spot_img
Friday, May 17, 2024
spot_img

Semua Boleh Mati, Asal Jangan Pers

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Tidak jarang kita dengar bahwa pers adalah satu dari empat pilar demokrasi (fourth estate). Istilah empat pilar demokrasi pertama kali dicetuskan oleh Edmund Burke di penghujung abad ke-18. Saat itu, Burke menyandingkan kekuasaan politik yang dimiliki pers di samping Tuhan, Gereja, dan Majelis Rendah.

         Dalam konteks sistem demokrasi Indonesia, pers berdiri bak pilar penyangga di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politica). Dengan kekuatan yang dimilikinya, pers menerima dua mandat; mengawasi proses berjalannya pemerintahan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

         Pers dapat dikatakan merdeka secara sah seiring dengan runtuhnya rezim otoritarian Soeharto, atau dikenal dengan dimulainya era reformasi. Saat ini, media dapat memberitakan isu-isu yang dianggap tabu pada masa rezim Soeharto seperti keburukan-keburukan dari pemerintah.

         Secara umum, struktur politik terbagi menjadi dua, yakni formal (suprastuktur politik) dan informal (infrastruktur politik). Struktur politik formal diisi oleh trias politica (ekskutif, legislatif, dan yudikatif), militer, kepolisian, kelompok birokrasi, dll. Sedangkan dalam lumbung struktur informal diisi oleh partai politik, pressure group, kelompok kepentingan, dsb, termasuk pers.

         Suprastruktur politik dan infrastruktur politik dapat dibedakan, namun tak dapat dipisahkan. Keduanya saling berhubungan dan saling memengaruhi dalam kehidupan demokrasi sehari-hari.

Khususnya peran media massa yang seringkali menjadi ukuran demokratis atau tidaknya sebuah negara. Jika di sebuah negara pers menjadi salah satu instrumen kebebasan berekspresi, maka negara tersebut dapat dikatakan demokratis.

Namun sebaliknya, ketika pers di sebuah negara berada dalam kontrol penguasa dan gagal menjadi instrumen kebebasan berekspresi, maka dapat dikatakan negara tersebut tidak demokratis. Hal ini disebabkan karena independensi pers di sebuah negara ditentukan oleh corak politik negara tersebut.

Sistem politik yang demokratis memungkinkan pers untuk bebas bergerilya menyampaikan aspirasi masyarakat serta menjadi platform kebebasan berekspresi. Sementara itu, sistem politik yang cenderung otoriter justru menempatkan pers di bawah bayang-bayang penguasa.

Informasi yang disampaikan oleh pers kepada masyarakat dapat secara tiba-tiba mengubah keberpihakan politik seseorang dan memengaruhi para pemangku kebijakan publik. Dengan kekuatannya juga, pers dapat menekan secara langsung pemerintah terkait isu yang diberitakannya.

Bahkan, Umaimah Wahid dalam buku “Komunikasi Politik: Teori, Konsep, dan Aplikasi pada Era Media Baru” turut mengutip Kevin Phillips yang mengatakan bahwa, kini adalah era mediacracy (pemerintahan media).

Dalam buku “Komunikasi Politik: Pemahaman Secara Teoritis dan Empiris” karya Efriza dan Jerry Indrawan, dijelaskan upaya-upaya yang dapat dilakukan pers dalam menjalankan fungsi politiknya. Adapun pers dapat bergerak dalam tiga cara.

Pertama, yaitu menjadi tempat bagi kelompok kepentingan dan kelompok penekan dalam menawarkan kepentingan masyarakat (yang sebelumnya telah diartikulasikan) untuk “dibeli” partai politik.

Kedua, menjadi tempat bagi partai politik untuk menginformasikan kepentingan masyarakat yang telah “dibeli” oleh partai politik ataupun sarana lainnya dalam menyampaikan aspirasi dari masyarakat ke para pengambil kebijakan.

Ketiga, yaitu dengan menjadi tempat bagi masyarakat yang menilai bahwa saluran-saluran politik tidak beroperasi secara maksimal atau adanya kemacetan dalam penyampaian aspirasi masyarakat ke pemerintah.

Kini, yang terjadi adalah setiap infrastruktur politik di Indonesia telah mengalami degradasi. Sehingga yang terjadi adalah terhambatnya proses check and balance dalam kehidupan demokrasi.

Partai politik abai dalam melihat kualitas kader-kadernya. Demi kepastian kursi di parlemen atau di lumbung eksekutif, partai-partai memprioritaskan perekrutan pada kader yang telah memiliki basis suara tanpa melihat kualitasnya. Entah itu artis, youtuber, atau personalia band musik.

Hal ini tentunya berdampak pada proses demokrasi negara, mengingat partai politik merupakan aktor utama dalam proses elektoral. Sederhananya, apa yang dapat diharapkan dari kader asal-asalan yang dikirim sebagai representasi?

Pressure group atau kelompok penekan juga turut mengalami kemunduran, salah satunya dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa tersungkur dalam pandangan pragmatis dan hedonis. Mahasiswa seakan kehilangan kegarangannya di jalanan.

Tak dapat dipungkiri bahwa orientasi mahasiswa yang pragmatis didasarkan pada kurikulum perguruan tinggi yang menuntut mahasiswa untuk sekadar terfokus pada urusan akademiknya serta terpaksa abai dalam menanggapi isu sosial-politik dalam negeri. Hal inilah yang menyebabkan berkurangnya tekanan dari kalangan mahasiswa.

Dari sisi kelompok kepentingan pun terjadi fenomena yang sama. Meskipun banyak kelompok kepentingan yang mengklaim bahwa mereka berjuang atas nama masyarakat, namun ideologi dan orientasinya justru sarat akan kepentingan. Alih-alih menjadi fasilitator penyalur aspirasi, kelompok kepentingan semacam ini, lebih cenderung menjadi alat kepentingan kelompok-kelompok ataupun sub-sub kelompok yang ingin terus mendominasi.

Sama halnya dengan infrastruktur politik lainnya, pers di Indonesia juga dapat dikatakan mengalami degradasi. Penyebabnya macam-macam, salah satunya kemampuan oligarki media untuk mencari keuntungan dari revolusi digital.

Independensi dan reliabilitas pemberitaan dari media semakin berkurang. Dampaknya tentu saja, lemahnya kontrol atau pengawasan terhadap pemerintah. Menurut Reporters Without Borders 2019 World Press Freedom Index, Indonesia menempati posisi ke-124. Lebih buruk dari tahun 2009, kala itu indonesia menempati posisi ke-100. Beberapa media internasional juga menyebut pers Indonesia “bebas sebagian.”

Infrastruktur politik di Indonesia kini mengalami degradasi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Besar harapan masyarakat agar setiap aspek infrastruktur tersebut tidak mati. Jika semuanya terpaksa mati, tak masalah. Asal jangan pers.

Mati yang dimaksud penulis di sini bukanlah berarti hilang atau dihapuskan. Melainkan mati dalam artian kehilangan indepedensi, tidak menjalankan fungsi politik sebagaimana mestinya, serta terus menurun secara kualitas dan kuantitas.

         Pers dibutuhkan demi menghindari segala bentuk abuse of power dari para pelaksana kekuasaan negara. Atas tugas yang mulia tersebut, maka pers haruslah bersifat independen, bebas dari kepentingan manapun termasuk intervensi sang pemilik media. Selamat hari pers nasional.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img