spot_img
Tuesday, May 7, 2024
spot_img

UJIAN PRESISI POLRI DI KASUS IRJEN SAMBO

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Aditya Prastian Supriyadi

Dosen Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim

Setelah satu bulan lebih akhirnya publik dapat mendengar penyidik mengumumankan Irjen Sambo sebagai tersangka di kasus kejanggalam kematian anak buahnya. Penetapan tersangka ini menjadi awal titik terang arah perkara setelah berhari-hari kita dibingungkan berita kejanggalan kematian brigadir J oleh berbagai media.

Tuduhan pelecehan yang dilayangkan sang Jendral bintang 2 ternyata hanya kedok semata dalam menutupi aksi kejahatannya. Bahkan Presiden pun ikut memberikan atensi sampai 2 kali yang akhirnya menghantui jajaran Polri untuk segera menuntaskan perkara ini.

Atensi yang diberikan Presiden sebenarnya memiliki pesan tersirat yang dapat menentukan nasib reputasi institusi Kepolisian. Hal ini menjadi ujian kredibilitas jargon “Presisi” yang diusung Kapolri Listyo Sigit saat beliau dilantik sebagai armada Kepolisian di tanah air.

Melalui jargon ini, Kapolri berkomitmen untuk membawa arah tupoksi penegakan hukum yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi kepada siapapun terutama kepada jajaran Kepolisian yang tidak dapat menjadi teladan.

Sepak terjang komitmen ketegasan jargon Presisi dari Kapolri sebenarnya memiliki catatan baik untuk diapresiasi. Fakta ini dapat dilihat saat Kapolri berani mencopot Kapolda Sumatera Selatan karena terlibat kasus sumbangan bodong Covid-19.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah jargon Presisi ini akan tetap perkasa saat dihadapkan oleh kasus oknum petinggi Polri yang notabenenya dekat dengan Kapolri sendiri? Tentu ini menjadi ajang pembuktian kepada publik bahwa jargon “Presisi” kepolisian bukan hanya sekadar jargon untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Penetapan tersangka dalam kasus ini sebenarnya menjadi nilai plus kinerja dari penyidik kepolisian. Apalagi jika diperhatikan, keberhasilan penetapan tersangka tidak lepas dari partisipasi masyarakat tanah air.

Hal ini tentu sesuai dengan teori Community Crime Prevention yang disampaikan oleh Goldstein, bahwa presentase tingkat keberhasilan kinerja penegakan hukum akan meningkat apabila melibatkan partisipasi publik. Peran publik dalam penegakan hukum dapat menjadi sumber informasi akurat yang dapat digali oleh penyidik untuk membongkar kasus secara objektif.

Konsep Community Crime Prevention sangat diperlihatkan dalam penanganan kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J. Hal ini dapat dilihat kebijakan keputusan Kapolri yang menonaktifkan Irjen Sambo dilakukan atas dasar aspirasi dari masyarakat. Artinya responsibilitas keputusan Kapolri sudah sangat sesuai dengan teori tersebut dalam mewujudkan Presisi.

Sehingga ritme kinerja proses penegakan hukum Irjen Sambo harus selalu menghimpun aspirasi dari publik. Karena jika tidak menampung aspirasi publik, publik sendiri yang akan membongkar yang tentunya dapat memperburuk citra kepolisian.

Keputusan pencopotan Irjen Sambo oleh Kapolri juga dinilai sangat prediktif. Beth Pearshal dalam tulisannya yang berjudul “Predictive Policing: The Future of Law Enforcement?”, menjelaskan sikap prediktif dapat menjadikan polisi reaktif menganalisis antisipasi terhadap kejahatan dan bukan sekadar menanggapi.

Dalam konteks ini, keputusan Kapolri mencabut Irjen Sambo sebagai Kadiv. Propam Polri dilakukan atas dasar untuk mensukseskan penegakan hukum ke depan. Kapolri menyadari apabila Irjen Sambo tidak dinonaktifkan, tentu ada potensi penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki Sambo sehingga dapat menghalangi proses hukum yang sedang berjalan.

Transparansi menjadi kunci sukses lain dalam menuntaskan proses hukum Irjen Sambo yang sedang berjalan. Keberanian jajaran Kepolisian membuka tabir kebenaran rekayasa pembunuhan yang didalangi oleh Irjen Sambo merupakan wujud komitmen Presisi transparansi dari Polri.

Walaupun sebenarnya sisi transparansi masih menjadi catatan bagi Polri dalam penanganan kasus. Hal ini dilihat dari proses olah TKP yang dilakukan di kediaman Irjen Sambo sempat minim melibatkan Ketua RT setempat.

Padahal dalam KUHAP pada pasal 33 ayat (4), Pasal 126 ayat (2) Pasal 129 ayat (1) dan ayat (2) bahwa proses olah TKP kepolisian memiliki ketentuan harus ada pendampingan ketua lingkungan tersebut.

Perintangan hukum yang telah dilakukan kepolisian sebenarnya sangat mencoreng transparansi dalam penegakan hukum. Padahal apabila mengutip pendapat P. Lusczynski (2022) selaku tokoh veteran Kepolisian dari Amerika, tingkat transparansi kinerja kepolisian yang akan menentukan tingkat harmonis hubungan antara istitusi dengan masyarakat.

Hal ini tentu menjadi catatan proses olah TKP Irjen Sambo yang tidak melibatkan masyarakat bukan hanya soal pelanggaran hukum, akan tetapi juga mereduksi transparansi yang dapat memunculkan ketidakpercayaan dari pubik karena seolah-olah ada yang ditutup-tutupi.

Padahal tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri mengalami penurun. Fakta tersebut didukung hasil survey penurunan tingkat kepercayaan Polri yang awalnya berada di 80,2 persen menjadi 74,1 persen (Survey IPI 2021).

Seharusnya  dengan keadaan seperti ini, Polri perlu menegakkan transparansi dalam proses hukum irjen sambo Polri karena dapat meningkatkan hubungan harmonis antara Polri dan masyarakat dalam rangka mendapatkan kepercayaan penuh dari publik terhadap institusi.

Banyak sekali PR besar yang harus dihadapi Polri dalam menyukseskan proses hukum Irjen Sambo terutama dalam menegakkan keadilan. Keberanian Polri dalam menjerat Irjen Sambo yang notabenenya petinggi di Institusi tersebut merupakan salah satu implementasi tugas Polri dalam menjalankan Presisi.       Komitmen tersebut ditunjukkan Polri dalam menegakkan prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) seperti janji Kapolri yang akan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Prinsip Equality Before The Law (EBL) sangat penting dalam penegakan hukum sebagaimana penelitian dari D. Acemoglu, A. Wolitzky (2021) yang berjudul A theory of equality before the law. Dalam penelitian tersebut menjelaskan EBL memiliki pengaruh penting dalam memberantas mafia elit yang mendapatkan tempat istimewa di rezim pemerintahan yang notabenenya sulit tersentuh oleh hukum dan terkadang mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan non elit.  

Dari prinsip EBL yang telah dijelaskan di atas menjadi catatan penting terhadap penegakan hukum yang berkadilan. Hal ini tentu menjadi peringatan bahwa jabatan Elit dari Irjen Sambo di institusi Polri jangan sampai menjadi tembok untuk mendapatkan perlakuan yang tidak sama di depan hukum.

Artinya ketika salah, apapun jabatannya tidak boleh ada perlakuan istimewa dan harus mendapatkan porsi hukuman yang sama layaknya penegakan hukum kepada kalangan masyarakat biasa.

Akhirnya, Polri memiliki PR besar untuk membuktikan “Presisi” bukan hanya sekadar jargon manis di mata masyarakat. Jajaran Polri harus bertindak secara profesional tanpa pandang bulu dalam proses penegakan hukum kasus Irjen Sambo dalam menegakkan nilai keadilan, terutama keadilan bagi keluarga korban.

Sebagaimana amanat dalam QS. Al-Maidah ayat (8): “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.” (*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img