spot_img
Saturday, May 18, 2024
spot_img

Akulturasi Agama dan Budaya Label Halal Indonesia

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Label Halal Indonesia secara resmi telah berubah pasca diumumkan oleh Menteri Agama. Perubahan tidak hanya terjadi pada warna dan desain label. Perubahan juga berpengaruh pada kebijakan mengenai penerbitan sertifikasi halal. Penerbitan sertifikasi halal yang semula dipegang oleh MUI akhirnya berpindah ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Artinya penerbitan sertifikasi halal produk sudah bukan lagi tanggung jawab dari Lembaga Swadaya Masyarakat (MUI). Akan tetapi tanggung jawab sertifikasi halal telah diakuisisi Negara melalui Lembaganya (BPJPH).

Perubahan struktural yang telah dilakukan bukanlah merupakan tindakan sewenang-wenang dari Pemerintah. Upaya tersebut dilakukan atas dasar amanat aturan yang terdapat pada UU. No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam UU tersebut memberikan amanat sementara kepada MUI untuk menyelenggarakan sertifikasi halal sampai terbentuknya BPJPH.

Karena lembaga tersebut telah terbentuk, secara otomatis sertifikasi halal akhirnya kembali ke BPJPH. Pasca BPJPH telah terbentuk, berdasarkan pasal 37 memberikan tugas kepada BPJPH untuk menetapkan label halal. Akibat landasan aturan tersebut akhirnya BPJPH menetapkan label Halal Indonesia baru yang berlogogram gunungan dan motif surjan. Selain itu label tersebut juga dilengkapi dengan logotype yang bertuliskan “Halal Indonesia.”

Label Halal Indonesia baru nyatanya masih jadi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Salah satu poin perdebatan pada label tersebut terletak pada desain. Ragam respon yang muncul dari masyarakat mengindikasikan label Halal Indonesia baru belum bisa diterima oleh seluruh hati masyarakat. Akan tetapi perdebatan soal desain ini hanya masalah selera. Pastinya akan sulit memuaskan hasrat 270 juta warga untuk bisa menyatukan minat yang sama.

Namun yang menarik pada label halal baru terletak pada desain yang menjadi pembeda dengan label lama. Tidak hanya warna, corak budaya yang terdapat pada label halal menjadi ciri khas keunikan sendiri dimana tidak hanya mengedepankan nuansa Islam, namun juga mengelaborasikan nuansa kebudayaan. Artinya ada sebuah corak akulturasi agama dan budaya yang dimanifestasikan dalam desain label halal baru Indonesia.

Apresiasi kepada pihak pembuat logo karena memiliki kreativitas tinggi sehingga mampu merancang label halal yang menggabungkan beberapa komponen menjadi satu secara estetis. Apabila dilihat secara fisik logo halal yang membentuk gunungan merupakan improvisasi kata “halal” arab dengan sedemikian rupa melalui pendekatan seni kaligrafi yang bercorak surjan. Corak akulturasi agama dan budaya tidak hanya sebagai penghias logo namun memiliki makna mendalam yang sekaligus menjadi spirit label halal baru Indonesia.

Secara filosofi setiap corak pada label Halal Indonesia memiliki hal menarik terkait informasi yang ingin disampaikan dari desain motif pada logo. Motif gunungan yang terdapat dalam label merupakan wujud karakter wayang dari budaya jawa yang juga menjadi media dakwah Islam oleh para wali di masa lampau. Gunungan yang berbentuk limas (lancip ke atas) pada logo tersebut memiliki filosofi kehidupan. Semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, manusia semakin mengerucut dan semakin dekat dengan sang pencipta. Maksud filosofi tersebut sangat erat dengan “Manunggaling Kawula Gusti” yang juga berasal dari budaya jawa.

Dalam perspektif filosofi Jawa istilah “Manunggaling Kawula Gusti” memiliki makna yang menarik. Bahkan istilah tersebut sudah go internasional karena pernah dibedah oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur Yogyakarta saat beliau melakukan kunjungan ke Australia pada tahun 2016. Sri Sultan menjelaskan Istilah “Manunggaling Kawula Gusti” memiliki arti mengenai bersatunya Raja (Pemimpin) dengan rakyat. Arti dari istilah tersebut memiliki makna antara Raja (pemimpin) dan rakyat saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Pemimpin membutuhkan rakyat dan rakyat membutuhkan pemimpin sebagai pengayom.

Istilah “Manunggaling Kawula Gusti” juga dapat dilihat dalam perspektif Islam. Istilah tersebut bermula berasal dari ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki arti dasar “menyatunya Tuhan dengan Makhluk.” Menurut Buya Yahya selaku Ulama Masyhur Indonesia mengungkapkan ada perspektif tertentu dalam memahami “Manunggaling Kawula Gusti” agar tidak tersesat keluar dari keimanan.

Pertama apabila memahami istilah tersebut secara “hulul” maka jatuhnya adalah syirik karena meyakini Allah menyatu dengan makhluknya secara wujud. Namun jika dipahami secara “Wahdatus Syuhud” maksud “Manunggaling Kawula Gusti” memiliki makna yaitu ketika melihat makhluk kecuali yang terlihat adalah Allah. Artinya saat kita melihat makhluk ciptaan Allah dengan kekaguman tinggi maka di situlah kita melihat keagungan Allah.

Di sisi lain tokoh Budayawan Nasional Emha Ainun Najib (Cak Nun) juga mengungkapkan kandungan makna “Manunggaling Kawula Gusti” dalam kacamata Islam. Istilah tersebut menurut Cak Nun juga memiliki identik dengan konsep Tauhid (memanunggalkan Gusti Allah). Apabila dilihat dalam kacamata politik dan kekuasaan, “Manunggaling Kawula Gusti” menurut Cak Nun diistilahkan mengenai konsep hati dan pemikiran jiwa seorang pemimpin (Presiden) dengan Allah serta rakyat yang menjadi satu. Artinya melalui pendekatan konsep tersebut Pemimpin tidak boleh mendzalimi rakyatnya karena akan memancing murka Allah mengingat pemimpin memegang amanat.

Spirit Agama dan budaya di atas adalah ruh yang terdapat pada label Halal Indonesia. Simbol gunungan wayang yang berasal dari improvisasi kata halal arab memanifestasikan kehadiran Pemerintah bagi rakyat dalam memberikan kebijakan yang mengakomodir nilai Islam. Tujuan kebijakan ini apabila dikaitkan dengan filosofi “Manunggaling Kawula Gusti” merupakan upaya negara untuk memberikan jaminan kehalalan produk bagi masyarakat Indonesia. Sebagaimana dalam pasal 25 UU JPH yang menjadi landasan negara memerintahkan pelaku usaha untuk memberikan label halal pada produknya melalui mekanisme aturan yang berlaku.

Akuisisi penyelenggaraan produk halal merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk menghadirkan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk. Kebijakan ini sangat mendukung penegakan nilai Islam dalam rangka menghindari murka Allah SWT. sebagaimana firman Allah dalam QS ; Al-Baqarah (168) : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img