Malang Posco Media – Tok!. Palu sidang majelis hakim di Pengadilan Negeri Kepanjen mengakhiri amar putusan yang menjatuhi vonis 15 tahun penjara pada M. Tamyis Al Faruq alias Gus Tamyis, Senin (8/1). Pengasuh salah satu pondok pesantren di Kecamatan Tajinan itu dinyatakan bersalah mencabuli lima santriwatinya. Vonis tersebut sesuai dengan tuntutan jaksa pada sidang sebelumnya.
Gus Tamyis dijerat Pasal 82 Ayat (2) jo Pasal 76 huruf E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Ia juga dikenai denda Rp1 Miliar.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muhammad Tamyis dengan pidana penjara selama 15 tahun, denda sejumlah Rp 1 miliar, dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan,” ujar Hakim Ketua Jimmi Hendrik Tanjung dalam pembacaan putusan.
Usai sidang putusan berlangsung, terdakwa keluar dari ruang sidang dengan muka ditutup menggunakan tangan. Kemudian masuk ke dalam mobil tahanan.
Untuk diketahui, Gus Tamyis dilaporkan oleh lima orang korban santrinya dengan tuduhan pelecehan seksual. Mereka mengaku dilecehkan oleh Gus Tamyis saat mereka masih menimba ilmu di Pondok Pesantren NI yang ada di Desa Tangkilsari, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang.
Peristiwa ini terjadi pada tahun selama lebih dari tiga tahun. Pada saat itu, para korban masih di bawah umur. Mereka diminta menurut kepada terdakwa saat dilecehkan sebagai bentuk kepatuhan pada guru. Setelah dilecehkan, korban juga diberi uang oleh tersangka sebesar Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
Tri Eva Oktaviani, perwakilan tim Pendamping Hukum dari YLBHI-LBH Surabaya Pos Malang mengapresiasi kepada majelis hakim yang telah memvonis penjara 15 tahun kepada terdakwa. Hal tersebut lantaran menjadi titik terang bagi korban, dengan vonis yang tidak lebih rendah dari tuntutan jaksa.
“Kami mengapresiasi atas pertimbangan majelis hakim yang memberatkan hukuman. Bahwa melihat korban yang tergolong anak-anak kemudian memiliki masa depan menjadi korban pencabulan oleh seorang tenaga pendidik. Sehingga bisa menciderai masa depan harkat dan martabat anak. Apalagi anak mengalami kondisi trauma,” kata Tri Eva.
Menurut wanita yang disapa Eva itu, selain karena anak anak, ada beberapa poin yang disepakati terkait dengan putusan majelis hakim. Misalnya terkait pelaku yang merupakan seorang kiai dan tenaga pendidik di Pondok Pesantren. Dimana perilaku cabul dinilai menciderai pondok atau tenaga pendidik di lembaga berbasis keagamaan.
“Kami akan tetap mengawal meski pihak terdakwa akan melakukan proses hukum luar biasa kemudian hari. Yang juga menjadi haknya, itu komitmen kami,” imbuh Eva.
Sementara itu, MS. Alhaidary kuasa hukum korban M Tamyiz menuturkan, dirinya yang jelas akan melakukan banding dalam waktu dekat ini. Sebab, ia menilai dari awal proses hukum itu dinilai cacat. “Kita banding mestinya. Perkara ini sejak awal cacat. Mulai dari penyerahan berkas perkara ke pengadilan, itu tidak sesuai dengan penetapan,” katanya
Selain itu, tidak satupun saksi korban, mulai penyidikan sampai persidangan dipanggil memberikan keterangan sebagai saksi terhadap perkara ini. Selain itu, imbuh Alhaidary, tidak ada alat bukti satupun dalam kasus ini.
“Alat bukti hasil visum ada dua, satu gak sah atas nama NR, korbannya hanya itu, syarat harus ada laporan polisi. Dan korban ada satu dan tiba-tiba muncul saksi lain. Prinsipnya gini, kejahatan anak kejahatan serius, namun jangan jadikan memfitnah orang lain,” pungkasnya. (tyo/bua)