spot_img
Sunday, May 19, 2024
spot_img

Malang Rawan Banjir: Tata Ruang Problematik

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Banjir atau genangan air merupakan suatu permasalahan perkotaan yang masih terus diusahakan pengendaliannya. Banjir adalah aliran atau genangan air yang disebabkan oleh tingginya curah hujan, kemampuan pengembalian air yang tidak memadai, serta kondisi topografi dan drainase disuatu wilayah yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan, krisis air bersih bahkan menyebabkan korban jiwa. Tingkat bahaya banjir menjadi salah satu faktor penentu bagi risiko banjir, selain kelas kepadatan penduduk dan nilai produktivitas untuk setiap penggunaan lahan.

Musim penghujan tahun 2023 di Indonesia dimulai secara bertahap pada bulan November yang diprediksikan puncaknya pada bulan Januari hingga Februari 2024. Kota Malang memiliki curah hujan berkisar 51-150 mm, menunjukkan bahwa tingkat curah hujan berada pada kategori menengah (BMKG Jawa Timur, 2023).   Beberapa tahun terakhir, Kota Malang memiliki masalah rutinan ketika memasuki musim penghujan yaitu banjir. Banjir sudah sering terjadi selama 20 tahun, tepatnya sejak tahun 2003, Kota Malang telah mengalami total lebih dari 700 kali banjir di seluruh kecamatan sejak tahun 2019. Tercatat kurang lebih 211 kejadian banjir selama tahun 2022.

Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang, sekitar bulan Maret 2023, beberapa titik di Kota Malang mulai mengalami Banjir. Kota Malang paling tidak mengalami banjir rata-rata 20 kejadian pada waktu transisi musim penghujan ‘Pancaroba’ diantara April-Maret dan memasuki musim penghujan sekitar Oktober-Desember sejak lima tahun terakhir.(Walhi Jatim, 2023)

Berkaitan hal ini, Walhi Jatim bersama Malang Corruption Watch (MCW) tahun 2022 dalam rilisnya bertajuk “Menggugat Permasalahan Banjir di Kota Malang” menyebutkan bahwa permasalahan banjir di Kota Malang bukan hanya sekadar masalah sampah dan drainase saja, melainkan terdapat pada masalah tata ruang yang dinilai problematik. Pola ruang yang dinilai semrawut menjadi penyebab Kota Malang belum memiliki ruang terbuka hijau khususnya kawasan hijau dan kawasan lindung dengan daya serap air yang mumpuni.

Masih banyak wilayah yang seharusnya menjadi kawasan tangkapan air (Catchment Area) dimana mengalami alihfungsi lahan menjadi kawasan peruntukan, seperti perumahan, tertokoan hingga lembaga pendidikan. Bahkan kawasan sempadan sungai yang seharusnya menjadi ruang resapan, kini dibangun dengan berbagai jenis bangunan baru, mulai dari apartemen, hotel, dan bangunan lainnya. (Walhi Jatim, 2023)

Tata ruang menjadi sangat penting dalam pembangunan dikarenakan tata ruang sebagai salah satu instrumen untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup, mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan yang terjadi akibat Pembangunan yang dilakukan. Pembangunan dalam suatu kawasan atau wilayah harus memperhatikan rencana tata ruang (RTRW) pada kawasan tersebut sebagai dasar dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang di wilayah kota.

Pertumbuhan kota yang bertambah tiap tahun menyebabkan struktur tata ruang mengalami penurunan fungsi serta perubahan tata guna lahan. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya aliran permukaan langsung dan menurunnya kuantitas air yang meresap ke dalam tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya banjir pada musim hujan.

Kota Malang merupakan salah satu kota yang mengalami alih fungsi lahan signifikan. Tidak hanya lahan pertanian, daerah sempadan sungai juga mengalami masalah yang sama. Alih fungsi lahan yang marak terjadi berdampak pada menurunnya ruang terbuka hijau. 

Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan bagian dari infrastruktur hijau berupa jaringan interkoneksi dengan fungsi melestarikan nilai dan ekosistem serta memberi manfaat bagi manusia. RTH sebagai fungsi ekologis dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota.          Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang tentang Rencana Tata Ruang Wilayah telah disahkan pada tahun 2022 yang menjadi perencanaan jangka panjang hingga tahun 2042. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan dengan tegas mengenai standar minimal bagi Kabupaten/ Kota untuk memiliki RTH publik sebesar 20 persen dari total luas wilayah.    Sementara Salah satu permasalahan dari tata ruang Kota Malang adalah ruang terbuka hijau (RTH), hingga saat ini RTH yang dikelola Pemerintah Kota (Pemkot) Malang hanya berkisar 4 persen (MCW, 13 Juni 2023). Ini menunjukan bahwa masih minimnya keberadaan dan luasan ruang terbuka hijau di Kota Malang.

Beberapa permasalahan RTH di kawasan perkotaan meliputi pembangunan kota yang cenderung meminimalkan RTH, alihfungsi lahan, serta kurangnya dukungan kebijakan terhadap keberadaan RTH. Banyaknya bangunan yang memenuhi kawasan hijau lainnya juga masih dianggap wajar bahkan dibebaskan melalui legalisasi berupa izin, yang mungkin sampai pada beberapa diakomodir dalam revisi tata ruang terbaru.

Langkah strategis harus segera diambil untuk mengatasi banjir di Kota Malang. Langkah-langkah strategis itu diperlukan untuk membendung gelombang alihfungsi lahan di Kota Malang, perbaikan rencana tata ruang yang ada, mengkaji ulang izin-izin yang melanggar rencana tata ruang, dan memaksimalkan serta mendorong perlindungan kawasan hijau menjadi kawasan hijau lindung terhadap kawasan yang belum dialihfungsikan.

Langkah kongkrit dalam memaksimalkan ruang terbuka hijau perlu dilakukan melalui penetapan daerah yang tidak bisa dibangun, membangun lahan hijau baru, mengembangkan koridor ruang hijau kota, meningkatkan kualitas RTH melalui refungsi RTH eksisting, menghijaukan bangunan(green roof/ green wall), serta memberdayakan komunitas hijau.

Konsistensi dan kemauan yang besar serta kepekaan terhadap setiap permasalahan yang muncul, perlu terus didorong untuk membenahi setiap permasalahan yang ada di Kota Malang dengan menerapkan prinsip keterbukaan informasi dan partisipasi publik (meaningful participation) yang maksimal, memaksimalkan perlindungan kawasan hijau, melakukan memoratorium izin pembangunan sementara waktu, serta meninjau izin pembangunan baru dengan mengedepankan kesesuaian ruang.

Kebijakan perbaikan tata ruang harus berfokus pada alokasi ruang terbuka hijau, termasuk kawasan lindung yang menjadi area resapan dan tangkapan air, sebagai suatu langkah pemulihan kawasan dan juga menjadi bagian dari upaya dalam menghadapi serta menanggulangi dampak dari krisis iklim.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img