spot_img
Sunday, May 19, 2024
spot_img

RISIKO MASYARAKAT KAFE

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Kota Malang merupakan kota dinamis yang ditandai  aktivitas ekonomi yang kian menggeliat. Ekonomi kreatif berkembang dimana salah satunya ditandai variasi bisnis kafe yang menjamur di semua kawasan. Uniknya, pertumbuhan kafe menyebar pada kawasan-kawasan strategis kota.

          Jika sebelumnya kita menemukan kafe hanya di mall atau fasilitas umum seperti bandara atau stasiun kereta api, tetapi hari ini kita tidak sulit menemukan kafe di sepanjang jalan yang tidak jauh dari pemukiman. Bahkan pada beberapa kasus, wilayah natural seperti sawah,  kebun dan pegunungan berubah menjadi kawasan kafe.  

          Kafe tumbuh dengan ciri khas bervariasi. Kafe yang menjual kemasan kopi instan tidak hilang, kini muncul kafe dengan kopi roasting. Kafe juga menunjukkan kelas-kelas tertentu; kelas atas, menengah dan bawah. Tutupnya kafe juga beragam, ada yang jam 22.00 sampai 02.00 WIB.  

          Aneka kopi yang ditawarkan beragam, ada kopi Arabika, kopi Robusta dan kopi Liberika. Sedangkan berdasarkan kewilayahan, kita menemukan kopi Gayo, kopi Bali Kintamani, Kopi Mandailing, Kopi Dampit dan lain-lain. Selain itu, kafe juga menjual makanan berat sehingga minat konsumen untuk makan besar juga  terpenuhi. Hukum kompetisi berlaku pada pengelolaan kafe.

Kafe sebagai Fenomena

          Pada kajian sosiologi perkotaan, kemunculan kafe melahirkan masyarakat kafe sebagai tren baru. Tren ini melahirkan bukan hanya perubahan segregasi ruang kota, tetapi juga  gaya hidup warga kota.

          Perubahan ini bisa kita analisa baik dari sisi produsen dan sisi konsumen.  Kini bukan lagi era rumah makan atau depot yang diserbu oleh konsumen, tetapi anak-anak muda setiap hari menghabiskan waktu luang  di kafe.  Pikiran pragmatis investor atau pengelola secara cerdas menangkap peluang ini.

          Dari sisi konsumen, populasi anak muda dengan gaya hidup perkotaan seperti pemanfaatan waktu luang di tempat-tempat publik yang ditangkap pengusaha kafe sebagai peluang. Menggeliatnya kafe menyebabkanbrand berkembang. Di kota-kota besar, bisnis kafe tidak hanya dikuasai branded luar negeri, tetapi juga merek lokal yang  sanggup berkompetisi dengan brand global tersebut.

          Profesionalisme pengelolaan kafe telah merubah kafe sebagai berikut.  Pertama, kafe sebagai Tempat Hiburan. Awalnya kafe merupakan tempat bertemu dan mengobrol. Warung ini sebagai ajang interaksi sosial antarwarga dimana persoalan publik dan privat dibicarakan di sini.

          Secara historis kita mengenal warung kopi di desa-desa atau di kampung-kampung. Para petani yang pulang dari sawah atau kebun bertemu dengan petani lain di warung kopi. Tapi kini, warung kopi menjelma sebagai kafe di kota.

          Perkembangan kafe ini menggantikan tempat rekreasi konvensional. Kafe bukan destinasi wisata, namun semua tempat wisata memilih kafe untuk daya pemikat. Kini kafe melengkapi dengan pelayanan bagus. Kemudian yang tidak kalah penting yakni fasilitas yang membuat betah/ kerasan dan interior artistik tingkat tinggi. Kafe mulai melengkapi dirinya dengan tempat foto dan mainan untuk anak. Konsumen tidak hanya mengejar  rasa kopi, fasilitas juga sebagai pertimbangan konsumen dalam kafe. 

          Kedua, kafe sebagai Ruang Publik. Masyarakat Kafe yaitu masyarakat pertemuan individu secara kolektif di dalam coffee shop.  Tempat ini sebagai pertemuan alternatif kedua warga setelah rumah tangga, sekolah atau kantor. Banyak urusan diselesaikan di kafe, apakah sekadar menghabiskan waktu atau bertemu untuk urusan serius.  

Risiko Masyarakat Kafe

          Pertemuan di kafe telah melahirkan kerumunan publik yang didorong motif pengunjung yang beragam dan corak pertemuan secara kebetulan. Gambaran motif tersebut mulai pengunjung yang hanya sekadar merenung, bersosialita atau mengerjakan tugas.

          Ada yang tidak serius dan ada yang lobi-lobi. Lobi-lobi antar aktor-aktor politik dan pemberdayaan komunitas kerap dilakukan di kafe. Efek positif pertemuan yaitu lahirnya kegiatan-kegiatan di komunitas.

          Sekalipun ada banyak celah pada kegiatan produktif, tetapi budaya ngafejuga melahirkan risiko-risiko negatif seperti individualisasi dan alienasi. Individualisasi menjelaskan kecenderungan individu untuk enggan bersosialisasi, di kafe lah, terpenuhi ruang privasi yang membuat individu untuk berjam-jam menyendiri.    Sedangkan, alienasi menunjuk kehilangan perasaan  dalam pola interaksi. Berbeda dengan pola pergaulan di pedesaan yang mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan, dalam bentuk kebiasan saling kunjung, seperti dalam masyarakat Jawa dikenal sonjodimana pertemuan dilakukan rumah warga, bukan di tempat umum. Tetapi menjamurnya kafe dan bergantinya generasi, pertemuan berbasis adat ini lama-lama menghilang. Kini yang terjadi menguatnya kerumunan atau komunitas perkotaan dalam kafe-kafe.

Risiko masyarakat kafe lain yaitu budaya ngafe yang melahirkan  ketergantungan baru anak muda khususnya pelajar dan mahasiswa. Tidak sama dengan mahasiswa lama yang mengerjakan tugas sekolah/ kuliah di kos-kosan, kini tugas diselesaikan banyak di kafe. Bahkan, ketergantungan sama dengan kecanduan, kalau tidak di kafe tugas-tugas tidak selesai.

          Secara makro, ketergantungan ini turut  melahirkan kesenjangan sosial baru. Harga mahal kopi kafe dibandingkan warung kopi, melahirkan konsekuensi tidak semua warga mampu mengakses. Konsekuenmsinya, terbagi dua kelompok, sebagai  pengakses dan bukan pengakses kafe.  

          Risiko berikutnya, muncul sub kultur baru. Gaya hidup pengunjung kafe melegitimasi pola konsumsi sekelompok elit tertentu yang membedakan dengan kelompok lain. Kini kita lihat di kafe kelas atas, pengunjung menggunakan atribut resmi khas pengunjung.

          Dahulu kita memilih baju terbaik dan bersepatu jika kuliah dan bepergian ke luar kita. Kini sulit membedakan seragam anak yang sedang kuliah dengan anak yang sedang bermain di kafe. Kostum ini menunjukkan mulai munculnya kultur kafe. Di kota muncul kelompok status ekslusif.

          Konsekuensi tidak terelakkan yaitu homogenisasi wajah kota. Berkembangnya masyarakat kafe melahirkan  kota seragam yang dipenuhi kafe. Sejatinya ada yang salah dalam perkembangan kota. Kota sehat merupakan  hunian menghibur warga dengan keragaman baik sebagai pusat bisnis, pemerintahan, kebudayaan, hiburan, dan pendidikan.

          Tetapi apa jadinya jika pada semua wilayah kota dipenuhi dengan kafe. Redupnya keragaman dan homogenitas kota juga menjadi risiko yang mengkhawatirkan.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img