spot_img
Wednesday, May 15, 2024
spot_img

Desertasi Dosen ITN Malang; Hasilkan Klasifikasi Seni Kriya

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Selama ini pengrajin seni Bali menggunakan tiga istilah dalam mengklasifikasikan seni kriya. Itupun masih “meminjam” dari klasifikasi yang biasa diperuntukkan untuk seni pertunjukan tari. Yakni, seni wali, bebali, dan balih-balihan.

Doktor Bidang Seni Rupa (Industri Kreatif), Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Dr. Priscilla Tamara, ST., MT, mengklasifikasikan seni kriya menjadi dua. Yakni seni kriya sakral, dan seni kriya sekuler.

Seni kriya sakral berkaitan dengan peralatan dari seni kriya yang dibuat untuk tujuan keagamaan. Sedangkan seni kriya sekuler bersifat profan, tidak bersangkutan dengan tujuan agama. Seni kriya sekunder yang bersifat profan ini biasanya peralatan untuk keperluan sehari-hari, benda-benda hias, dan sarana bangunan.

Pemikiran besar Priscilla itu, menjadi hasil dari tugas disertasinya yang dengan itu ia kini menyandang gelar doktor. “Bersyukur (klasifikasi) ini diamini oleh penguji-penguji saya yang notabene pakar seni pertunjukan dari Bali,” ungkap Priscilla.

Ia mengatakan keramik dan gerabah tradisional Bali memang unik untuk diteliti. Kecenderungan saat ini perajin di Desa Pejaten terbagi menjadi tiga tipikal. Pengrajin gerabah, pengrajin keramik, dan pengrajin gerabah sekaligus keramik.

Peralatan dari gerabah dan keramik bisa ditemui di dalam kehidupan sehari-hari, seperti peralatan makan, peralatan mandi, ataupun hiasan. Ketika dilihat, gerabah dan keramik Bali tidak jauh berbeda dengan di luar Bali.

Namun, ada satu fungsi yang membedakan, yaitu gerabah Bali memiliki fungsi keagamaan yang menyertai. Apalagi, selama ini belum ada yang meneliti fungsi keagamaan (ritual) untuk gerabah dan keramik sekaligus.

“Desa Pejaten mempunyai sejarah gerabah dan keramik cukup panjang dan unik oleh karenanya gerabah Pejaten berbeda dengan tempat lain,” katanya.

Sebagai sentra gerabah dan keramik, lanjut Priscilla, Pejaten satu-satunya yang mempunyai pasar luar negeri untuk gerabah, dan satu-satunya di Bali yang menekankan produksi pada gerabah hias. Keramik Pejaten seperti halnya gerabah, tumbuh di tempat yang sama. Pengrajinnya saling melengkapi. “Estetika keramik Pejaten berkembang dari gerabah, interelasinya di situ,” imbuhnya.

Dalam penelitiannya, Priscilla melakukan kajian teknologi, fungsi, dan estetika. Gerabah Pejaten secara teknologi berbeda dari tempat lain. Ini dipengaruhi oleh permintaan pasar luar negeri.

Pasar luar negeri memiliki standarisasi sendiri  sehingga memaksa pengrajin gerabah Pejaten mengikuti standarisasi tersebut. “Teknologi yang dimaksud adalah teknologi pengolahan bahan, teknologi peralatan yang digunakan, dan teknologi pembakaran. Beda cara bakar beda produk yang dihasilkan,” terang dia.  

Priscilla lulus doktoral dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dengan sangat memuaskan. Judul disertasinya, “Interelasi Gerabah dan Keramik Pejaten Bali, Kajian Teknologi, Fungsi, dan Estetika”. Alumnus S-2 ITN ini berhasil menciptakan pengklasifikasian istilah untuk seni kriya, dan sejarah Desa Pejaten. (imm)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img