Istilah ‘mberot’ kini viral di dunia maya khususnya mereka yang terlibat dalam kesenian tradisional ‘bantengan.’ Kata ‘mberot’ itu berasal dari bahasa Jawa yang menggambarkan mereka yang sedang beraksi dalam aktivitas seninya marah, berontak, mengamuk sesuai dengan peran yang dijalani.
Tenaga yang dihasilkan oleh pelaku luar biasa besarnya, diibaratkan seperti seekor sapi (banteng) yang berontak dan mereka yang ‘kerasukan’ mampu berlari jauh tak kenal lelah karena kemarahannya. Tidak hanya sebatas marah, berontak, dan mengamuknya mereka (pelaku) tak jarang bertindak di luar nalar kemanusiaan normal.
Perilaku menyimpang yang masyarakat menyebut ‘ndadi’ kadang mengganggu penonton sebelum ’digambuhi’ oleh pawang (pengendali) acara karena di dalamnya ada unsur ‘magis’nya. Dan aktivitas seperti inilah yang menyebabkan paling menarik dan ditunggu-tunggu penonton dari kesenian ‘bantengan.’
Mberot dalam Dimensi Pembelajaran
Fenomena mberot dalam dunia hiburan bila disandingkan dengan masalah pendidikan/ pembelajaran memang tidak apple to apple. Dunia hiburan/ seni lebih menonjolkan perbuatan yang dapat melupakan kesedihan dan mengarah pada kesenangan, mengurangi stres dari beragam aktivitas keseharian. Dunia hiburan dapat menjadi penghibur atau pelipur lara pihak pelaku maupun penonton.
Pembelajaran (pendidikan) lebih dari itu semua. Segala kegiatannya berjalan serba dinamis. Tidak ada yang bisa memastikan seorang siswa yang ‘mberot’ akan sama perlakuannya. Dan bila disandingkan dengan istilah ‘mberot’ yang ada di dunia hiburan, setidaknya ada dua pemahaman penting.
Pertama, mberot dalam artian tidak mengikuti proses pembelajaran (pelajaran) di kelas karena beragam faktor yang menyertainya. Ketidakhadiran siswa dalam mengikuti pembelajaran itu di antaranya: merasa kurang nyaman dengan materi pelajaran yang disampaikan guru. Ajakan teman sekelas untuk bersama menghindari pelajaran yang diberikan oleh guru. Atau siswa menganggap mata pelajaran yang diikutinya tidak berpengaruh pada masa depannya.
Kedua, mberot karena faktor keterpaksaan yang dilakukan oleh siswa yang tidak ingin mengikuti proses pembelajaran karena ada unsur ‘paksaan’ orang tua. Ketidakinginan siswa belajar di sekolah yang tidak sesuai dengan harapan dapat memicu masalah.
Menanamkan Nilai Kesadaran Lingkungan
Lingkungan sekolah dan keluarga berpengaruh besar dalam membangun perkembangan sosial, emosional, dan karakter siswa. Diharapkan dengan menanamkan kesadaran lingkungan sekolah dan keluarga dapat membentuk pengalaman belajar holistik bagi siswa. Berikut solusi mberotnya siswa dalam pembelajaran. Pertama, Mengenal Lingkungan Sekolah. Artinya memahami segala aspek yang terkait dengan sekolah, fasilitas fisik, staf pengajar, rekan sebaya, kegiatan ekstrakurikuler, dan budaya sekolah. Pemahaman yang mendalam tentang lingkungan sekolah membantu siswa merasa lebih nyaman, beradaptasi dengan baik, dan terlibat dalam proses pembelajaran.
Kedua, Membangun Rasa Kepemilikan dan Identitas Sekolah. Dengan mengenal lingkungan sekolah, siswa dapat mengembangkan rasa kepemilikan dan identitas sekolah yang kuat. Mereka merasa menjadi bagian dari mewujudkan visi dan misi sekolah serta merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan keberlanjutan sekolah. Rasa kepemilikan ini mendorong partisipasi aktif siswa dalam kegiatan sekolah dan membangun semangat belajar yang tinggi.
Ketiga, Meningkatkan Keterlibatan Sosial dan Emosional. Mengenal lingkungan sekolah membantu siswa membangun hubungan sosial yang sehat dengan guru dan rekan sebaya. Siswa yang merasa dikenali dan diterima di lingkungan sekolah akan lebih termotivasi untuk berinteraksi, berkolaborasi, dan membentuk jejaring sosial yang positif.
Keempat, Memaksimalkan Pemanfaatan Sumber Daya Sekolah. Sekolah menyediakan beragam sumber daya, termasuk perpustakaan, laboratorium, fasilitas olahraga, dan teknologi. Mengenal lingkungan sekolah memungkinkan siswa untuk memanfaatkan sumber daya ini secara optimal, menjelajahi minat dan bakat mereka, dan mengembangkan keterampilan di berbagai bidang. Siswa yang memiliki pemahaman tentang sumber daya sekolah dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar yang lebih beragam dan kaya.
Kelima, Mengenal Nilai dan Budaya Sekolah. Setiap sekolah memiliki nilai-nilai, tradisi, dan budaya yang unik. Mengenal lingkungan sekolah membantu siswa memahami dan menghormati nilai-nilai ini, serta mengikuti aturan dan norma yang berlaku. Siswa yang terhubung dengan nilai-nilai dan budaya sekolah cenderung lebih disiplin, memiliki perilaku yang positif, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang beragam.
Keenam, Mendukung Pengambilan Keputusan Karir. Mengenal lingkungan sekolah dapat membantu siswa dalam memahami pilihan karir yang tersedia. Melalui eksplorasi berbagai program studi, pertemuan dengan profesional, atau kegiatan karir di sekolah. Siswa dapat memperoleh wawasan tentang berbagai bidang pekerjaan dan membangun gambaran yang lebih jelas tentang masa depan mereka.
Ketujuh, Menanamkan Kerjasama. Ucapam filsuf Frithjof Schuon, jika ingin menjadi manusia seutuhnya, letakkan pendidikan sebagai kunci pemanusiaan manusia. Pasalnya pendidikan mengajarkan setiap manusia untuk dapat mengenal diri dan lingkungannya. Mengenal diri sendiri berarti memahami apa yang mesti dilakukan untuk dirinya demi pengembangan kapasitas diri.
Kedelapan, Perlunya Perubahan Pembelajaran. Perubahan adalah sebuah keniscayan, mengutip pendapat Heraklitos, pendidikan memberikan pesan-pesan perubahan agar perilaku manusia terus diubah menjadi baik dan lebih baik. Hanya dengan belajar kepada realitas, manusia kemudian akan menjadi bermakna dan dimungkinkan menjadi lebih baik. Pendidikan kritis menjadi jalan yang perlu dibuka dan dilakukan sebagai langkah baik agar terjadi dinamika.
Intinya mberot dalam hiburan tradisional ‘bantengan’ dan mberot di lingkungan pendidikan/ pembelajaran sama-sama perlu penanganan serius. Sehingga penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh mereka tidak sampai ‘kebablasan’ dan akan merepotkan semua pihak. Semoga!(*)