spot_img
Wednesday, May 1, 2024
spot_img

Memahami Jati Diri

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si

Fithrah berarti asal kejadian, bawaan sejak lahir(naluri), karena manusia dilahirkan dalam keadaan suci bebas dari dosa. Fithrah juga berarti agama karena keberagamaan mengantar manusia mempertahankan kesuciannya. Dalam QS. 30: 30 yang artinya “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam keadaan lurus. Fithrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Maka harus disadari bahwa asal kejadian manusia adalah tanah, dalam QS. 32 : 7, yang artinya “Allah yang membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia telah memulai penciptaan manusia dari tanah”.

Kita semua lahir, hidup dan akan kembali dikebumikan ke tanah.Kesadaran akan kejadian manusia dari tanah, harus mampu mengantar manusia memahami jati dirinya. Tanah berbeda dengan api yang merupakan asal kejadian iblis. Sifat tanah stabil, tidak bergejolak seperti api. Tanah menumbuhkan, tidak membakar. Tanah dibutuhkan oleh manusia, binatang dan tumbuhan,  tapi api tidak dibutuhkan oleh binatang, tidak juga oleh tumbuhan. Jika demikian, manusia mestinya stabil dan konsisten, tidak bergejolak, serta selalu memberi manfaat dan menjadi andalan yang dibutuhkan oleh selainnya.

Bumi di mana tanah berada akan tetap stabil. Allah menancapkan gunung-gunung di perut bumi agar penghuni bumi tidak oleng (QS. 16:15).Peredaran bumi pun mengelilingi matahari sedemikian konsisten. Kehidupan manusia di dunia ini pun terus beredar, berputar, sekali naik dan sekali turun, sekali senang di kali lain susah.Jika tidak tertancap dalam hati manusia pasak yang berfungsi seperti fungsinya gunung pada bumi, maka hidup manusia akan oleng, kacau berantakan. Pasak yang harus ditancapkan ke lubuk hati itu adalah keyakinan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah salah satu sebab mengapa lafdhul jalalah “Allahu Akbar” setiap hari  dibaca oleh umat Islam, yang lisan dan hatinya dekat dengan Allah walaupun diungkapkan dalam hati.

Persatuan dan Kesatuan

Kesadaran akan kehadiran dan keesaan Tuhan adalah inti keberagamaan. Mengingat manusia diciptakan Allah dari tanah, maka tidak heran jika nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air, merupakan fithrah yakni naluri manusia. Tanah air adalah ibu pertiwi yang sangat mencintai  sehingga mempersembahkan segala sesuatunya dalam hidup ini, kita pun secara naluriah mencintainya. Itulah fithrah-naluri manusiawi, karena itu, “hubbu al wathan mina al ieman” cinta tanah air manifestasi dan dampak keimanan. Tidak heran jika Allah menyandingkan iman dengan tanah air. Sebagaimana menyejajarkan agama dengan tanah air, Allah berfirman (QS, 60: 8) yang artinya Allah tidak melarang kamu berlaku adil (memberi sebagian hartamu) kepada siapapun – walau bukan muslim – selama mereka tidak memerangi kamu dalam agama atau mengusir kamu dari negeri kamu”. Itulah pembelaan agama dan pembelaan tanah air disejajarkan Allah.

Yang mencintai sesuatu akan memeliharanya, menampakkan dan mendendangkan keindahannya serta menyempurnakan kekurangannya bahkan bersedia berkorban untuknya. Tanah air, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, harus dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara persatuan dan kesatuannya. Persatuan dan kesatuan adalah anugerah Allah yang tidak ternilai.

Sebaliknya, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat adalah bentuk siksa Allah. Itulah antara lain yang diuraikan Al Qur’an menyangkut masyarakat Saba’, negeri yang tadinya dilukiskan oleh Al Qur’an sebagai Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, negeri sejahtera yang dinaungi ampunan Illahi tapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka, menganiaya negeri mereka. Maka Kami jadikan mereka buah bibir dan Kami cabik-cabik mereka sepenuh pencabik-cabikan. (QS. 34: 18).Itulah yang terjadi di Uni Soviet, Yugoslavia dan yang kita saksikan dewasa ini di Israil serta negara di Timur Tengah lainnya.

Kesatuan Jati Diri

Kalimat “Allahu Akbar” merupakan satu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aktivitas manusia. Dia adalah pusat yang beredar, di sekelilingnya sejumlah orbit unisentris serupa dengan matahari yang beredar di sekelilingnya planet-planet tata surya. Di sekeliling Tauhid itu beredar kesatuan-kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari Tauhid, sebagaimana halnya planet-planet tata surya – karena bila berpisah akan terjadi bencana kehancuran.

Kesatuan-kesatuan tersebut, pertama, kesatuan seluruh makhluk karena semua makhluk kendati berbeda-beda namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah “Wahdat al-Wujud”; kedua, kesatuan kemanusiaan, semua manusia berasal dari tanah, dari Adam, sehingga semua sama kemanusiaannya. Semua harus dihormati kemanusiaannya, baik masih hidup maupun telah wafat, walau mereka durhaka. Karena itu, “Siapa yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, maka dia bagaikan membunuh semua manusia dan siapa yang memberi kesempatan hidup bagi seseorang maka dia bagaikan telah menghidupkan semua manusia”. (QS. 5: 32).

Ketiga, di pusat tauhid beredar juga kesatuan bangsa, kendati mereka berbeda agama, dan suku, berbeda kepercayaan atau pandangan politik, mereka semua bersaudara, dan berkedudukan sama dari kebangsaan. Karena itu, pemimpin tertinggi Al-Azhar Ahmad At-Thayyib menyatakan dengan tegas “Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaan negara, tidak wajar ada istilah mayoritas dan minoritas karena semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama”.

Selain kesatuan-kesatuan menuju kebersamaan di atas, masih banyak yang lain, seperti: kesatuan suami isteri, yakni kendati mereka berbeda jenis kelamin namun mereka harus menyatu. Tidak ada lagi yang berkata “saya” tetapi “kita”, karena mereka sama-sama hidup, dicintai dan menuju tujuan yang sama.

Akhirnya, kesatuan jati diri manusia yang terdiri dari ruh dan jasad. Penyatuan jiwa dan raga, mengantar “binatang cerdas yang menyusui” ini menjadi manusia utuh sehingga tidak terjadi pemisahan antara keimanan dan pengamalan, tidak juga antara perasaan dan perilaku, perbuatan dengan moral, idealitas dengan realitas.

Demikian, manusia yang memiliki fithrah yang suci, kembali ke asal kejadiannya. Dia teguh dalam keyakinan, teguh tetapi bijaksana, senantiasa bersih walau miskin, hemat dan sederhana walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak menyebar fithnah, tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain. (*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img