spot_img
Friday, April 26, 2024
spot_img

Politik “Garis Lucu”

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Ternyata politik “garis keras” yang super serius dan kaku itu kalah dengan politik “garis lucu” yang lebih lentur dan menghibur. Tak banyak orang menimbang gagasan dan program kerja serius dari para kontestan politik dalam pemilu 2024. Ternyata politik yang tonjolkan aneka gimik dan penuh lucu-lucuan justru yang lebih laku. Lahirnya politik “garis lucu” ini ternyata menjadi pilihan banyak orang di tengah citra politik yang dinilai kejam, seram, dan halalkan segala cara.

           Visi, misi, dan program kerja dari pasangan capres-cawapres dan para caleg tak banyak jadi perhatian publik. Mungkin tak sedikit publik yang menilai sejumlah gagasan itu utopia dan tak realistis. Publik sudah muak dengan aneka janji-janji politik setiap pemilu. Beragam permasalahan terkait bobroknya etika dan moral politik sejumlah politisi juga tak jadi perhatian serius masyarakat. Beragam persoalan serius dan berat itu hanya jadi isu di awang-awang dan tak membumi.

          Yang menarik dan disukai masyarakat, terutama kalangan generasi Z dan milenial, ternyata adalah hal-hal ringan. Para gen Z dan milenial yang menjadi pemilih mayoritas dalam pemilu kali ini lebih cenderung suka yang ringan-ringan, lucu, dan menghibur. Tak heran kalau banyak pemilih yang menggunakan hak suaranya untuk mendukung sosok yang santai, lucu, dan populer di media sosial. 

Fenomena Komedian Komeng

          Komedian bernama Alfiansyah alias Komeng viral. Komeng memasang foto dengan gestur nyeleneh pada surat suara. Calon anggota DPD dapil Jawa Barat dengan nomor urut 10 ini mampu menggaet atensi publik hingga menjadi trending di media sosial X (Twitter). Tak hanya viral, berdasarkan hitung cepat (quick count) resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komeng mampu mengungguli kandidat lain.

          Dalam kontestasi berebut kursi DPD dalam pemilu 2024 ini, Komeng sengaja tidak berkampanye. Komeng juga tak banyak koar-koar perihal pencalonan dirinya. Komeng mengatakan bahwa dia ingin memberi kejutan kepada calon pemilih. Hasilnya banyak pemilih yang terkejut di TPS saat melihat foto unik Komeng. Komeng berhasil menyita perhatian dan memikat banyak calon pemilih hingga akhirnya berbuah banyak dukungan.

          Di saat banyak pemilih yang masih bingung menentukan pilihannya saat di Tempat Pemungutan Suara (TPS), Komeng muncul dengan konsep di luar kebiasaan (out of the box). Cara ini ternyata jitu hingga mampu menarik simpati banyak pemilih. Tampilan lucu Komeng mampu menggerakkan tangan banyak pemilih yang memegang paku di bilik suara itu akhirnya mencoblos foto nyeleneh dirinya.

          Komeng telah menggunakan humor sebagai brand dirinya. Brand lucu itu ternyata laku di dunia politik. Penggunaan humor dalam politik tak bisa dianggap sebagai sesuatu yang tak serius. Justru dalam banyak literatur ditegaskan bahwa sejatinya humor itu serius. Humor terlahir dari keseriusan sang pencipta humor. Efek dari humor juga tak main-main. Humor bisa jadi kekuatan yang luar biasa dalam beragam kepentingan dan tujuan, termasuk dalam panggung politik.

Lucu yang Beradab

          Lelucon atau humor politik hendaknya tetap mengedepankan keadaban. Bumbu humor dalam politik sejatinya dapat melumerkan suasana. Namun humor yang dimaksud adalah humor yang disampaikan dengan tepat cara, porsi, dan waktunya. Jurnal Prisma volume 38 nomor 1 tahun 2019 pernah mengangkat tema “Humor yang Adil dan Beradab.” Penggunaan humor memang harus menjunjung keadilan dan keberadaban.

          Aneka gimik politik yang berwujud lelucon misalnya, semestinya tetap menjunjung etika dan keadaban. Tak beradab kalau humor dalam politik dimaksudkan untuk merendahkan seseorang atau lawan politik. Humor dalam politik tak bisa dipandang hanya sebagai lucu-lucuan semata karena sejatinya humor adalah sesuatu yang serius. Ketika politik terlampau banyak berbalut hiburan (politainment) maka rakyat bisa punya kesan bahwa politik hanyalah urusan main-main semata.

          Humor yang dilakukan politisi bisa untuk tujuan menghindari atau menutupi sesuatu. Menurut Nick Butler (2023) dalam bukunya yang bertajuk “The Trouble with Jokes,” menyatakan bahwa politisi yang suka berhumor bisa dinamakan clownmanship. Butler mendefinisikan secara harfiah bahwa clownmanship adalah perpaduan cacat antara badut (clown) dan negarawan (statesmanship).

          Clownmanship bisa dijadikan strategi politikus untuk menutupi hal tertentu atau melepaskan diri dari tanggung jawab. Politikus yang tergolong clownmanship biasanya sama sekali tak ragu dan malu untuk menutupi kurangnya pengalaman dan wawasannya dengan lelucon atau pernyataan yang sama sekali tak menyentuh substansi. Justru humor dijadikan sebagai cara mengalihkan dari masalah yang sebenarnya.

          Tak sedikit politikus yang lahir dari sosok komedian, artis penyanyi, pemain film, dan sinetron. Di Amerika, sejumlah aktor film dengan gampang melenggang di panggung politik. Di negeri ini, tak sedikit pula artis dan komedian yang berjaya menduduki kursi jabatan politik. Ini membuktikan bahwa dunia politik tak selamanya jadi dunia yang kejam, keras, dan penuh intrik. Politik “garis lucu” ternyata juga mendapat tempat di hati masyarakat.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img