Perang (war) berburu takjil viral di beragam platform media sosial (medsos). Kalau biasanya orang perang berburu tiket (war ticket) konser musik, kini muncul fenomena berebut membeli takjil. Viralitas war takjil terjadi karena banyak warganet yang membuat konten medsos saat ikut perang berburu takjil. Beragam konten, terutama yang dibuat oleh para pesohor medsos (influencer) membuat war takjil menjadi tren pada Ramadan kali ini.
Tak hanya kaum muslim yang ramai berbelanja takjil. Banyak orang non-Islam (nonis) yang ikut memborong aneka jajanan yang dijual jelang waktu berbuka puasa. War takjil yang muncul di banyak tempat menjadikan berkah bagi para pedagang takjil. Tak seperti Ramadan tahun-tahun sebelumnya, antusias masyarakat nonis ikut berburu takjil menjadikan Ramadan semakin semarak.
Walaupun demikian, ajang war takjil perlu dilakukan dengan bijak karena jika tidak maka bisa berpotensi dapat mengurangi esensi dari bulan suci ini. Tak sedikit orang ikut war takjil dengan berlebih-lebihan dan bukan karena pertimbangan kebutuhan. Tak jarang di antara para pemburu takjil itu melakukannya demi mengikuti tren dan untuk konten medsos. Kalau sudah begini, ujung-ujungnya biasanya adalah demi monetisasi.
Efek Gema Medsos
Kata war takjil bertebaran di kolom komentar TikTok, Feed di Instagram, dan cuitan di Twitter (X). Viralnya war takjil tak lepas dari keperkasaan medsos menggemakan peristiwa ini. Efek gema (echo chamber effect) yang melekat pada medsos menjadikan fenomena war takjir menggelinding semakin membesar dan ramai di banyak daerah. Tren perang berburu takjil juga semakin masif berkat para influencer dan pengguna medsos yang menjadikan ajang berburu takjil sebagai konten yang memenuhi laman medsos mereka.
Echo chamber dalam penjelasan singkat bisa diartikan sebagai ruang di dunia maya, tempat orang berteriak tanpa mau tahu dengan kondisi nyatanya. Echo chamber, efek gema atau gaung merupakan deskripsi metafora (metaphorical description) dari situasi yang membuat orang percaya pada sesuatu karena adanya pengulangan yang terus menerus. Riuhnya narasi war takjil yang diunggah oleh para kreator konten menjadikan gema peristiwa ini semakin membesar.
Bisa jadi ajang berburu takjil yang beredar di medsos itu sebenarnya peristiwa biasa-biasa saja, namun karena pesan itu terus bergema lantas sesuatu itu menjadi luar biasa. Jadilan tren yang membuat banyak orang merasa perlu mengikuti sesuatu yang sedang happening tersebut agar tak dibilang ketinggalan zaman. Akhirnya tak sedikit warganet yang ikut berburu takjil dengan tujuan bukan sekadar tentang takjil yang dibeli, namun lebih pada demi konten dan ikut tren.
Informasi war takjil terus menggema karena sistem algoritma di medsos akan terus menyajikan berita dan informasi yang paling sering diklik. Ketika para pengguna medsos pernah mengakses informasi tentang war takjil misalnya, maka informasi terkait hal itu akan otomatis terus menjejali konten di ruang maya mereka. Hal ini persis dengan pola penayangan iklan online yang terus mencekoki iklan sejenis pada mereka yang pernah mencari produk iklan tertentu.
Budaya Pasar Saat Ramadan
Ramadan memang tak hanya soal ibadah tetapi juga momen belanja. Menurut Kuntowijoyo (2018), ada dua budaya yakni budaya masjid dan budaya pasar. Budaya masjid menggambarkan religiusitas dan jauh dari sifat foya-foya, sementara budaya pasar adalah budaya yang penuh dengan tipudaya dan lebih mementingkan materi.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat kental dengan dua budaya ini saat Ramadan. Komodifikasi Ramadan telah menjadikan momentum agama berada dalam ruang profan dan hedonis.
Bulan Ramadan telah menjadi ajang pertemuan antara budaya masjid dan budaya pasar di lingkungan masyarakat. Beragam kegiatan yang bernuansa masjid seperti pengajian, sholat tarawih, ceramah agama, talkshow bertema Islam, kajian kitab dan hadist banyak dilakukan orang. Masjid, mushola, langgar, dan surau ramai dipadati orang beribadah. Namun, pada saat yang sama juga muncul budaya pasar lewat berbagai aktivitas berbelanja dan berburu promosi.
Tren war takjil sebenarnya bisa dibaca sebagai bentuk munculnya budaya pasar saat Ramadan. Perang berburu takjil, terutama demi konten medsos punya kecenderungan berlebihan karena yang menjadi orientasi utamanya adalah demi konten medsos. Belanja takjil cenderung bukan karena tuntutan kebutuhan namun lebih pada memenuhi nafsu dan agar menarik perhatian orang lain.
Tak sedikit orang melakukan pembelian impulsif, di mana orang membeli barang tanpa pertimbangan dengan matang mengenai kebutuhan atau anggaran mereka. Hal ini dapat mengarah pada konsumerisme yang berlebihan, di mana konsumen sering kali membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Sering pembelian impulsif (impulsive buying) terjadi karena mengikuti tren.
Agama dan hal-hal yang terkait dengan agama, seperti Ramadan telah menjadi sebuah komoditas. Seperti layaknya komoditas barang dan jasa, maka sebuah komoditas pasti mempunyai nilai jual yang bisa digunakan untuk mendapatkan keuntungan. Cara pandang ini bisa melahirkan budaya konsumtif di masyarakat yang bisa menodai ibadah di bulan suci Ramadan.(*)