spot_img
Tuesday, June 18, 2024
spot_img

Mempertegak Politik Bebas Aktif

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Realitas politik global akhir-akhir ini dipenuhi dengan nuansa serba-serbi konflik. Belum usai ketegangan Rusia-Ukraina, kini rivalitas China-Taiwan kembali memanas. Menyusul beberapa waktu lalu, terjadi ledakan di Jalur Gaza. Hingga di Asia Tenggara, problem Myanmar yang belum menunjukkan angin segarnya.

Sebelumnya dunia dihadapkan dengan masalah wabah pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian hampir seluruh negara di dunia. Kini masalah itu kembali diperparah dengan berbagai konflik serta ketegangan antara negara-negara bergelar superpower.

Nahasnya, rivalitas yang terjadi pada level internasional berakibat memperparah level domestik pula. Apalagi negara-negara yang berstatus sebagai negara berkembang.

Mengutip Direktur The European Institute Universitas Columbia Adam Tooze mengungkapkan, bahwa saat ini telah terjadi krisis secara simultan, dimana terjadi krisis pangan, ledakan wabah, stagflasi, krisis utang, hingga kemungkinan perang nuklir. Mengejutkan lagi oleh Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan gelombang baru ketidakpastian akan mengancam krisis utang negara berkembang.

Faktanya, Sri Lanka pada Juli telah mengumumkan kebangkrutannya. Sementara negara-negara seperti Lebanon, Suriname, dan Zambia telah berada dalam status gagal bayar. Menyusul El Salvador, Ghana, Mesir, Tunisia, dan Pakistan dalam risiko besar gagal bayar.

Urgensi Politik Bebas Aktif

         Gejolak dunia internasional seperti yang disampaikan di atas, kiranya penting untuk diantisipasi oleh Indonesia. Artinya, Indonesia perlu untuk terus memainkan kebijakan atau politik luar negerinya.

         Secara umum, kebijakan atau politik luar negeri merupakan tindakan otoritatif pemerintah dalam menjaga dan merubah aspek-aspek yang diinginkan dari lingkungan internasional.

         Kendati setiap kebijakan bahkan gimik yang dilakukan berpotensi menyeret Indonesia dalam pusaran konflik. Maka dalam konteks ini, politik luar negeri yang bebas dan aktif sangat penting untuk terus dilancarkan.

         Sebagaimana didasarkan pada landasan idiil yakni Pancasila serta landasan konstitusional UUD 1945 dan TAP MPR No. IV/ MPR/1999 tentang GBHN yang di dalamnya menyatakan politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif serta mengacu pada kepentingan nasional RI.

         Artinya bahwa politik “bebas aktif” Indonesia yang dilakukan secara otonom tidak memihak pada satu blok tertentu. Indonesia berperan penting sebagai aktor utama menjadi subjek dalam politik global, dan bukan menjadi objek. Dalam praktiknya, politik bebas aktif sejatinya bertujuan untuk kepentingan nasional atau rakyat (national interest), dan bukan atas kepentingan negara lain.

         Harus diakui bahwa konteks politik bebas aktif ini sangat relevan. Mengingat hubungan atau interaksi dunia internasional saat ini bak peribahasa “Civis Pacem Parabellum” atau jika ingin berdamai maka bersiaplah untuk berperang.

         Presiden Joko Widodo pernah meramal hubungan internasional saat ini bak series “Game of Thrones.” Dimana melihat masalah dunia yang sarat akan konflik kepentingan, Presiden Jokowi lantas mengatakan “Winter is Coming”, dalam pidato pembukaan Annual Meeting Plenary Session di Nusa Dua, Bali.

Kepentingan Nasional

         Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia dalam memainkan diplomasi atau politik luar negeri yang bebas aktif patut diberikan apresiasi. Sebagai pengejawantahan politik bebas aktif, politik luar negeri Indonesia kali ini menyasar pada beberapa negara Asia Timur (China, Jepang, dan Korsel) dan AS.

         Kendati di antara beberapa negara ini sedang mengalami rivalnya. Uniknya ini dilakukan secara bersamaan. Serta memiliki arti penting hubungan strategis Indonesia dengan China maupun AS.

         Kita melihat pemerintah memberikan fokus pada dua hal yaitu penguatan diplomasi ekonomi dan kerja sama militer. Untuk mengantisipasi ancaman krisis akut global, Presiden Joko Widodo berkunjung ke tiga negara kawasan Asia Timur tersebut dalam rangka kerja sama bidang ekonomi, perdagangan, dan investasi (25/7). Diplomasi Indonesia ke tiga negara sebagai mitra kerjasama ini tentu bukan tanpa alasan.

         Rilis data BKPM menyebutkan China menempati posisi kedua investor terbesar dengan nilai 2,3 miliar dollar AS di Indonesia dari realisasi investasi kuartal II-2022. Sementara Jepang menduduki posisi keempat dengan nilai 0,9 miliar dollar AS.

         Sebelumnya posisi ini diduduki oleh Korsel. Di sektor perdagangan, China merupakan mitra dagang Indonesia terbesar dengan total perdagangan sebesar 72,8 miliar dollar AS. Menyusul Jepang sebagai mitra terbesar kedua dengan nilai 31,6 miliar dollar AS.

         Di lain sisi kerja sama di bidang militer Indonesia-AS yang semakin intens. Kedua negara melihat pentingnya memperkuat hubungan bilateral untuk meningkatkan kegiatan militer ke militer dan bekerja sama menjaga keamanan maritim.

         Hal ini dilakukan kedua negara dengan mengadakan latihan militer bersama. Pada Agustus tahun lalu, di bawah program Garuda Shield, Indonesia dan AS melakukan Latihan militer di tiga titik yakni, di Batu Raja (Sumsel), Makalisung (Minahasa), dan Amborawang (Kutai Kartanegara). Terbaru, latihan militer bersama diselenggarakan di Surabaya pada Agustus 2022.

         Menarik untuk melihat Indonesia memilih AS dalam melakukan kerja sama militer. Hal ini berkaitan dengan arogansi China di Laut China Selatan (LCS). Insiden antara kapal China dan Vietnam dan Filipina di kepulauan Spratly membuktikan indikasi betapa agresifnya China di perairan LCS.

         Bahkan China semacam tidak memperhitungkan Indonesia meskipun Indonesia memiliki legitimasi hukum internasional terkait kedaulatan di kawasan ZEE di Laut Natuna Utara. Faktanya, China pernah melakukan pengeboran minyak lepas pantai di kawasan ZEE itu.

         Artinya, memilih AS sebagai mitra kerja sama militer merupakan pilihan rasional Indonesia. Indonesia menggandeng AS sebagai upaya perimbangan kekuatan (balance of power) terhadap agresivitas China atas carut marut LCS dan ZEE di Laut Natuna Utara.

         Persis dengan pernyataan Kedubes AS di Jakarta bahwa kerja sama ini dimaksudkan sebagai upaya menjaga kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

         Dari dua peristiwa ini sekaligus mengafirmasi tampilan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Kerja sama militer Indonesia- AS bukan berarti memposisikan China sebagai musuh. Begitu juga kerja sama ekonomi Indonesia dengan China, Jepang, dan Korsel tidak berarti untuk menyaingi AS.

Sederhananya, China bukan lawan, dan AS bukan kawan sejati Indonesia. Yang ada hanyalah Indonesia berhak menentukan dengan siapa ia bermitra sebagai upaya memenuhi kepentingan nasional (national interest)Indonesia sendiri.

         Sebab semangat politik luar negeri bebas aktif ialah dalam rangka mempertahankan dan menjaga keselamatan negara, mengusahakan kepentingan negara dengan kerja sama internasional serta menjalin persahabatan dengan negara di dunia sebagai wujud pengamalan Pancasila.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img