spot_img
Monday, May 20, 2024
spot_img

September Kelabu Harga BBM

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah komoditas strategis nan seksi. Begitu strategis dan seksi-nya, BBM rentan dan sensitif. Tatkala ada perubahan, baik itu harga dan produksi imbasnya melebar di semua ruang ekonomi, sosial dan politik.

Kenaikan harga BBM dari waktu ke waktu hampir sulit mempertemukan social cost dan kerangka ideal kebijakan. Seperti diketahui, per 3 September 2022, pemerintah resmi menaikkan harga BBM jenis Solar, Pertalite, Pertamax dari harga sebelumnya. Kini, menjadi Rp 6.800 per liter untuk Solar, Rp 10.000 per liter untuk Pertalite, dan, Rp 14.500 per liter untuk Pertamax.

Kenaikan harga BBM, bahasa kebijakan menggunakan isitilah penyesuaian (adjustment), dilatarbelakangi adanya fakta membengkaknya nilai subsidi energi sudah mencapai Rp 502 Triliun. Penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa anggaran subsidi dan kompensasi energi akan kembali membengkak sebesar Rp 198 Triliun jika tak ada kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar.

Anggaran subsidi dan kompensasi energi untuk 2022 telah dipatok sebesar Rp 502,4 Triliun. Angka tersebut membengkak Rp 349,9 Triliun dari anggaran semula sebesar Rp 152,1 Triliun untuk menahan kenaikan harga energi masyarakat. Diperkirakan anggaran ini akan terus membengkak hingga akhir tahun dengan adanya kenaikan harga minyak mentah dan pelemahan kurs rupiah. 

Apabila ditelusuri dan dibaca lebih jauh, kenaikan harga BBM dari waktu ke waktu, kerapkali didasari masalah yang hampir sama dan tak kunjung ada perubahan.  Masalah tersebut, berkaitan dengan (1) harga minyak dunia yang Tinggi. (2) produksi minyak yang rendah (3) impor minyak  (crude dan BBM) yang tinggi, akibat kekurangan kapasitas kilang. Di samping, ada persoalan dengan mekanisme impor minyak sehingga tidak efisien. (4) kemampuan membangun infrastruktur sangat terbatas. Dan, (5) APBN defisit.

Mengacu dari semua masalah tersebut, jika harga BBM dinaikkan atau tidak dinaikkan akan menempatkan posisi sulit Negara dalam mengawal harga BBM. Karena itu, acapkali kenaikan harga BBM selalu mudah didengar, term retorika kebijakan berbunyi dalam posisi sulit dan melakukan penyesuaian.

Apabila harga BBM tidak dinaikkan/ dibatalkan, menggambarkan posisi defisit Negara yang membengkak. Rasio defisit naik. Dalam perspektif kebijakan, defisit yang melebihi 3 persen akan melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara.

Sedangkan, pilihan lain kebijakan subsidi BBM jika tidak menaikkan harga BBM sejumlah pertimbangan harus dilakukan dengan; Pertama, Penghitungan Ulang Besaran Subsidi BBM dengan mengacu kepada patokan Biaya Pokok BBM. Jika besaran subsidi BBM akan lebih rendah bila dibandingkan dengan menggunakan patokan harga pasar “MOPS+Alpha” kondisi hal ini melanggar Keputusan MK.

Kedua, Diperlukan percepatan Program Konversi ke BBG dengan mempercepat pembangunan infrastruktur Gas. Harga Gas tanpa subsidi lebih murah dari harga BBM bersubsidi. Jika Negara dalam posisi sulit dan terpaksa harus melakukan penyesuaian harga BBM, sejumlah masalah dipastikan terlahir yang menyertai berlakunya kebijakan kebaikan harga BBM.

Yaitu harga barang kebutuhan rakyat akan naik, daya beli masyarakat akan turun, jumlah orang miskin akan bertambah, konsumsi domestik sebagai salah satu komponen penting dalam per-tumbuhan GDP, akan menurun, suku bunga bisa terdorong naik. Menurunkan investasi dan lapangan kerja.

Dan, program BLT tidak akan efektif dan disinyalir sebagai upaya menaikkan elektabilitas partai tertentu sehingga dinilai tidak fair dan tidak sehat dalam proses berdemokrasi. Semua masalah tersebut ujungnya memberatkan masyarakat.

Sedangkan, keputusan kenaikan harga BBM jika terlanjur dilakukan memberikan potensi adanya perubahan (keuntungan) dalam hal ini adalah pompa bensin/ Retail BBM Non-Subsidi, karena cepat atau lambat sebagian pemakai BBM bersubsidi akan pindah ke BBM non-subsidi.

Jangka panjang apabila subsidi mengecil atau dihilangkan, maka bisnis retail BBM asing akan memperoleh peluang untuk mendapatkan keuntungan dan memperluas jaringannya di seluruh Indonesia.

Masuknya pelaku asing ke pasar domestik nyaris tanpa ada persyaratan bahkan oleh UU Migas mereka dimungkinkan untuk menggunakan semua fasilitas/ infrastruktur yang dibangun Pertamina, sementara Pertamina kalau mau membuka usaha retail di luar negeri, diharuskan untuk membangun kilang.

Kemampuan APBN meningkat. Sejumlah proyek-proyek di Kementerian/ Lembaga Non-Departemen memperoleh tambahan sumber pembiayaan. Dana yang bisa dihemat bisa dikembalikan ke rakyat dalam bentuk pembangunan infrastruktur.

Melihat kondisi hal tersebut, kebijakan kenaikan harga BBM karena sulit mempertemukan social cost dan dasar ideal kebijakan kenaikan. Karena itu kebijakan kenaikan harga BBM adalah pilihan terakhir yang dilakukan bila pemerintah melakukan upaya kongkrit untuk menyehatkan APBN. Misalnya, menaikkan penerimaan APBN dari Sektor Migas. Dalam bentuk ekspor gas yang selama ini dijual dengan harga murah, supaya bisa dibayar dengan harga normal

Selain itu, efisiensi mekanisme impor minyak mengingat kebutuhan impor minyak merupakan kebutuhan dasar. Efisiensi pengelolaan cost recovery. Dana investasi yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor bisa dikembalikan dalam bentuk uang, bukan dalam bentuk fisik minyak/ gas. Sasaran produksi/ lifting minyak dalam APBN 2022 bisa dicapai. Restrukturisasi Pengelolaan Industri Migas Nasional dilakukan.

Dengan demikian, kebijakan kenaikan harga BBM sebagai produk kebijakan Negara, idealnya juga diikuti sejumlah langkah. Yakni; dana penghematan digunakan untuk meminimalisir dampak negatif terhadap inflasi. Bantuan untuk angkutan umum agar tidak menaikkan tarif. Serta digunakan untuk membangun infrastruktur, terutama infrastruktur transportasi: pengadaan bus baru, gerbong kereta api, pembangunan jalan-jalan baru, pembangunan sistem angkutan massal. Serta, mempercepat pembangunan infrastruktur Gas, terutama untuk angkutan umum.

BBM sebagai komoditas strategis bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang sangat  dipengaruhi  oleh jumlah konsumsi BBM. Nyaris tidak ada kegiatan sehari-hari yang tidak membutuhkan BBM/ energi baik langsung maupun tidak langsung.

Kebijakan harga BBM idealnya dikembalikan sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 ayat 2.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img